Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak) yang diajukan Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia dan Yayasan Keadilan. Putusan dengan Nomor 57 dan 59/PUU-XIV/2016 tersebut diucapkan Ketua MK Arief Hidayat didampingi delapan hakim konstitusi lainnya, Rabu (14/12) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pendapat yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Mahkamah menilai terdapat tiga tujuan diberlakukannya kebijakan pengampunan pajak. Pertama, untuk merepatriasi dana yang ditempatkan warga negara Indonesia di luar negeri untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kedua, untuk meningkatkan basis perpajakan nasional dari aset atau harta yang diungkapkan dalam permohonan pengampunan pajak. “Ketiga, untuk meningkatkan penerimaan pajak pada tahun diberlakukannya pengampunan pajak tersebut yang diperoleh dari penerimaan uang tebusan,” paparnya
Mahkamah, lanjut Palguna, menilai pemberlakuan kebijakan pengampunan pajak melalui UU Pengampunan Pajak akan menciptakan struktur perpajakan yang adil. Sebab, dengan terbukanya data harta/kekayaan para wajib pajak melalui pelaporan oleh wajib pajak sendiri, maka kontribusi dari PPh orang pribadi akan menjadi penyumbang terbesar pendapatan dari sektor pajak.
“Hal ini sejalan dengan prinsip ability to pay dalam filosofi keadilan perpajakan, yakni mereka yang lebih kaya membayar pajak lebih besar, sehingga dengan demikian pajak akan benar-benar berperan sebagai instrumen redistribusi pendapatan yang selanjutnya akan memperkecil ketimpangan,” urainya.
Tidak Lindungi Pengemplang Pajak
Mahkamah pun berpendapat diberlakukannya kebijakan pengampunan pajak bukan berarti negara melindungi kejahatan yang dilakukan oleh wajib pajak dalam bidang perpajakan. Kebijakan tersebut merupakan insentif yang hanya berlaku selama berlangsungnya periode pengampunan pajak dan untuk selanjutnya akan diberlakukan penegakan hukum. Palguna menambahkan kebijakan pengampunan pajak tetap penting untuk diambil meskipun di masa yang akan datang akan diberlakukan perjanjian Automatic Exchange of Information. Alasannya, selain perjanjian itu baru akan berlaku pada tahun 2018, juga untuk mengantisipasi bahwa tidak semua negara menjadi pihak atau peserta dalam perjanjian dimaksud.
“Terdapat alasan urgent dan mendasar bagi pembentuk Undang-Undang untuk mengambil kebijakan pengampunan pajak melalui pemberlakuan UU 11/2016 a quo sehingga, secara prinsip, pengampunan pajak yang esensinya adalah berupa pelepasan hak negara untuk menagih pajak terutang atau mengenakan pajak dalam suatu periode tertentu, dihubungkan dengan tujuan diambilnya kebijakan itu, tidaklah bertentangan dengan UUD 1945,” tandasnya.
Ketentuan yang mengatur para wajib pajak yang tengah menghadapi penyidikan, berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan, sedang dalam proses peradilan, atau sedang menjalani hukuman pidana atas tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat mengikuti Pengampunan Pajak, Palguna memandang hal tersebut berarti UU Pengampunan Pajak tidak melindungi mereka yang telah secara nyata diduga kuat melanggar kewajiban perpajakan.
“Apalagi mereka yang sedang dalam proses peradilan dan lebih-lebih yang sedang menjalani hukuman pidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Dengan demikian, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam Pasal 3 UU 11/2016 dalam kaitannya dengan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang a quo,” tegasnya.
Dalam sidang pembacaan putusan tersebut, MK juga tidak dapat menerima dua perkara yang diajukan beberapa pemohon perseorangan (Perkara nomor 59/PUU-XIV/2016) serta Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) (Perkara Nomor 63/PUU-XIV/2016).
Sebelumnya, dalam permohonannya, para pemohon menilai ketentuan dalam UU Pengampunan Pajak telah melukai rasa keadilan dalam masyarakat karena bersifat diskriminatif dengan membedakan kedudukan warga negara sebagai warga negara pembayar pajak dan warga negara tidak membayar pajak. Selain itu ketentuan ini juga dinilai memberikan hak khusus secara eksklusif kepada pihak yang tidak taat pajak, berupa pembebasan sanksi administrasi, proses pemeriksaan, dan sanksi pidana.
Tak hanya itu, Pemohon juga menilai pengampunan untuk konteks perpajakan tidak sejalan dengan ketentuan konstitusi, yang mengatur lembaga pajak seharusnya bersifat memaksa. Dengan adanya ketentuan a quo, sifat lembaga pajak berubah menjadi lentur bahkan menjadi negotiable. Hal itu dinilaiPemohon juga sebagai ketidakadilan dan perlakuan diskriminatif yang nyata terhadap “para pengemplang pajak” dari kewajibannya membayar pajak. Alih-alih diberi sanksi justru “para pengemplang pajak” tersebut diampuni dan hanya membayar denda yang jumlahnya sama dengan warga lain.
(Lulu Anjarsari/lul)