Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menemukan pertentangan norma dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun) dengan norma mengenai administrasi kependudukan dalam undang-undang lain. Hal tersebut terungkap dalam sidang Putusan Nomor 85/PUU-XIII/2015 yang diucapkan Rabu (14/12) di ruang sidang pleno MK.
Menurut Mahkamah, administrasi kependudukan tetap merupakan kewenangan pemerintah. Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) selaku pengelola rumah susun dapat membantu pemerintah, dengan memfasilitasi pemerintah dalam pendataan penduduk di dalam lingkungan rumah susun yang menjadi ruang lingkupnya.
“Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas kata penghunian dalam Pasal 75 ayat (3) Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tidak beralasan menurut hukum,” ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang membacakan pendapat Mahkamah.
Mengenai dalil Pemohon yang berkeberatan terhadap ruang lingkup dari PPPSRS yang meliputi penghunian, Mahkamah berpendapat hal tersebut sudah tepat. Menurut Mahkamah, apabila ada warga yang menjadikan suatu lingkungan sebagai tempat tinggal/tempat hunian, tugas pengelola tidak terbatas hanya pengelolaan saja tanpa melibatkan aspek penghunian.
Sebab, menurut Mahkamah, prinsip rumah susun bukan hanya terdiri atas benda, yaitu tanah, gedung dan fasilitas. Namun juga terdiri atas unsur manusia yang menghuni gedung tersebut, atau penghuni. “Sehingga pengelolaan rumah susun bukan sekadar pengelolaan kebendaan melainkan pula pengelolaan yang manusiawi serta memperhatikan penghuni sebagai aspek yang harus pula dikelola. Dengan demikian sudah tepat apabila ruang lingkup tugas PPPSRS meliputi penghunian,” jelas Wahiduddin.
Mengenai dalil Pemohon tentang mekanisme pengambilan keputusan dalam PPPSRS dengan sistem satu anggota satu suara, Mahkamah berpendapat penggunaan frasa “berhak memberikan satu suara” dalam Pasal 77 ayat (2) UU Rusun sudah tepat. Aturan tersebut bertujuan melindungi pemilik/penghuni yang telah menghuni sarusun. Sebab, apabila pengambilan keputusan didasarkan pada Nilai Perbandingan Proporsional (NPP), maka berpotensi adanya dominasi kepentingan dari pemilik dengan NPP yang besar.
Aturan tersebut, tegas Mahkamah, mengatur bahwa tiap pemilik/penghuni mempunyai hak suara dengan pemberlakuan “one man one vote” apabila berhubungan dengan penghunian, sedangkan NPP berlaku hanya apabila dikaitkan dengan pengelolaan dan kepemilikian rumah susun. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas frasa “berhak memberikan satu suara” dalam Pasal 77 ayat (2) UU Rusun tidak beralasan menurut hukum.
Para Pemohon adalah empat orang pemilik unit satuan rumah susun, yaitu Eva Kristanti, Rusli Usman, Danang Surya Winata dan Ikhsan. Para Pemohon menguji sejumlah pasal yang mengatur tentang PPPSRS yang dinilai menimbulkan ketidakpastian dan merugikan Pemohon sebagai pemilih satuan rumah susun. (Nano Tresna Arfana/lul)