Dibentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia berawal dari ide untuk menjaga Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis. Hal tersebut disampaikan Ketua MK Arief Hidayat saat menerima kunjungan segenap pimpinan dan pengajar Fakultas Hukum (FH) Universitas Trunojoyo Madura, Selasa (13/12) di ruang delegasi lantai 4 Gedung MK.
Mahkamah Konstitusi memiliki tugas dan fungsi untuk menjaga agar subtansi hukum, khususnya yang berhubungan dengan undang-undang, dapat konsisten, koheren, dan berkorespondensi dengan Undang-Undang Dasar. “Undang-undang yang dibuat DPR bersama Presiden melalui proses politik. Dalam proses politik seringkali terjadi penyusunan undang-undang keluar dari Konstitusi, karena ada pergulatan kepentingan-kepentingan politik. Undang-undang merupakan kristalisasi dari kepentingan-kepentingan yang berkembang di kekuatan politik,” urai Arief yang didampingi oleh Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah.
Dalam kunjungan yang dihadiri Dekan FH Universitas Trunojoyo Nunuk Nuswardani, dan Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi MK Noor Sidharta, Arief menegaskan teori hukum yang dikembangkan Hans Kelsen. Menurut Kelsen, struktur hukum disusun secara sistematis dan berjenjang, antara satu dengan yang lain tidak boleh saling bertentangan, terutama yang di bawah tidak boleh bertentangan dengan yang di atas.
“Sejak awal pendirian negara Indonesia sebetulnya sudah ada ide untuk mendirikan Mahkamah Konstitusi. Tapi karena masa itu terbatasnya sumber daya manusia dan lain-lain, maka Mahkamah Konstitusi tidak bisa dibentuk. Hanya dibentuk satu peradilan yaitu Mahkamah Agung. Tapi setelah 50 tahun Indonesia merdeka, maka kemudian dibentuklah Mahkamah Konsitusi,” ujar Arief.
Lebih lanjut, Arief menegaskan Putusan MK harus dipelajari oleh semua orang. Para stakeholder, para penyelenggara negara, apalagi akademisi harus mengetahui putusan-putusan MK. “Menjadi naif kalau para dosen hukum tidak tahu putusan-putusan MK. Melalui website MK akan dimunculkan putusan-putusan MK,” tambah Arief yang juga menjelaskan jumlah perkara Pengujian Undang-Undang mencapai sekitar 900 perkara hingga saat ini.
Arief pun menjelaskan kerja sama yang dijalin MK dengan sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Kerja sama MK dengan perguruan tinggi, imbuhnya, bukan merupakan hal baru. “Sejak MK dibentuk, para akademisi sudah berinisiatif melakukan kerja sama dengan MK. Di antaranya, MK menempatkan video conference agar dimanfaatkan dalam berbagai kegiatan hukum,” ujarnya.
(Nano Tresna Arfana/lul)