Aturan yang membatasi peninjauan kembali (PK) untuk perkara perdata hanya satu kali diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Adalah Abdul Rahman C. DG Tompo yang tercatat sebagai pemohon pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kehakiman) dengan Nomor perkara 108/PUU-XIV/2016 tersebut.
Diwakili Saharuddin Daming, pemohon menjelaskan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya dua pasal, yakni Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat 2 UU Kekuasaan Kehakiman. Kedua pasal tersebut menyatakan:
Pasal 66 ayat (1) UU MA:
Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.
Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman:
Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
Pemohon menilai dua pasal yang melarang PK untuk perkara perdata bertentangan dengan tiga putusan MK sebelumnya mengenai PK. Akan tetapi, lanjut Daming, ketiga permohonan tersebut hanya berlaku untuk perkara pidana, bukan perkara perdata seperti yang dialami pemohon. Hal inilah yang menyebabkan pemohon merasa terdiskriminasi.
“Klien saya tidak memperoleh kesempatan lagi untuk memperoleh keadilan oleh karena adanya undang-undang yang tidak memperkenankan seorang yang berperkara secara perdata untuk mengajukan PK lebih dari satu kali,” ujar Daming di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati tersebut.
Untuk itulah, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Tak hanya itu, Pemohon juga meminta agar Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD 1945, sejauh mengenai permohonan PKdapat diajukan lebih dari satu kali dalam perkara pidana. Terakhir, Pemohon meminta Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali pada pengajuan permohonan PK lebih satu kali dalam perkara pidana, perdata, maupun perkara lainnya.
Saran Perbaikan
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim memberikan perbaikan di antaranya agar pemohon mengubah dalil kerugian konstitusional yang dialaminya. Hal ini disampaikan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati yang menilai permohonan tersebut terkait dengan kasus konkret. Jika kerugian terkait dengan berlakunya pasal yang dimohonkan tidak diuraikan, maka permohonan tersebut bukan menjadi kewenangan MK.
“Alasan kerugiannya sudah ada di sini semuanya, tapi kalau saya melihat dari permohonan ini kelihatannya bahwa kasus ini suatu kasus konkret, ya. Nah, MK itu tidak berwenang mengadili masalah-masalah konkret, tetapi apabila masalah-masalah konkret itu dihubungkan dengan suatu rumusan dalam undang-undang maka itu bisa menjadi landasan pengujian materil ke MK,” jelas Maria.
Meskipun MK pernah memutus terkait PK dalam perkara pidana, menurut Maria, permohonan pemohon berbeda dan tidak bisa dijadikan nebis in idem seperti yang diminta pemohon. Ia menuturkan ada beberapa pasal berbeda dicantumkan pemohon yang tidak diuji pada tiga permohonan yang pernah diputus MK terkait PK. Untuk itulah, Maria meminta agar pemohon mempertajam kedudukan hukum dan dalil kerugian yang dialami.
“Pasal ini memang sudah diuji ke Mahkamah Konstitusi, tapi Bapak menambahkan beberapa pasal yang memang agak berbeda ya. Nah, maka saya mengatakan bahwa permohonan ini harus dielaborasi kembali,” tandas Maria. (Lulu Anjarsari)