Para advokat memperbaiki permohonan uji materiil Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada sidang yang digelar Senin (5/12). Perkara Nomor 103/PUU-XIV/2016 ini diajukan oleh beberapa advokat senior, yakni Juniver Girsang, Harry Ponto, Swandy Halim, Patuan Sinaga, Joelbaner Hendrik Toendan, Arief Patramijaya, Hanita Oktavia, Patricia Lestari, Triweka Rinanti, N. Pininta Ambuwaru, dan Handoko Taslim.
Dalam perbaikan permohonan, para Pemohon telah memperbaiki persoalan kerugian hukum sesuai dengan saran majelis hakim pada sidang sebelumnya. Menurut Arief Patramijaya selaku kuasa hukum, Pemohon tidak mendapatkan kepastian hukum mengenai jangka waktu penyelesaian perkara yang ditanganinya. Hal ini berdampak terhambatnya tugas pemohon untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. “Tertundanya keadilan sama saja dengan tidak memberikan keadilan, justice delay is justice denied,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo tersebut.
Selain itu, Pemohon merasa tidak mendapatkan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hal ini karena di satu sisi Pemohon telah melaksanakan semua kewajiban secara patut, namun di sisi lainnya penanganan tersebut dianggap belum selesai. Pemohon juga dianggap tidak memiliki kapabilitas untuk menangani suatu perkara secara cepat dan efisien akibat lamanya proses minutasi perkara tersebut, padahal hal tersebut di luar kendali Pemohon dan bukan dikarenakan kesalahan Pemohon.
“Pemohon tidak dapat memberikan pelayanan jasa hukum secara efektif dan efisien kepada masyarakat pencari keadilan oleh karena Pemohon tidak dapat diberikan informasi kepastian kapan perkara yang dikuasakan kepadanya akan selesai dan diadili oleh Mahkamah Agung,” jelasnya.
Para pemohon merasa keberatan dengan berlakunya Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang mengatur tentang syarat materi yang terdapat dalam surat putusan pemidanaan. Menurut para pemohon, syarat materi tersebut menimbulkan ketidakpastian terhadap jangka waktu penyelesaian sebuah perkara mengingat banyaknya materi yang harus dicantumkan. Apalagi Mahkamah Agung menerapkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) UU 8/1981 pada setiap tingkatan peradilan, termasuk tingkat kasasi atau peninjauan kembali. Pemohon menjelaskan dampak langsung yang dirasakan oleh para Pemohon adalah tidak dapat memberikan pelayanan jasa hukum secara efektif dan efisien kepada masyarakat pencari keadilan dan dianggap tidak profesional karena tidak dapat memberikan informasi/kepastian kepada klien kapan perkara yang ditanganinya akan selesai diadili oleh Mahkamah Agung.(Lulu Anjarsari)