Sejumlah warga penganut kepercayaan yang menguji aturan terkait pemuatan kolom agama dalam Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 24 Tahun 2013 (UU Kependudukan) memperbaiki permohonan. Sidang pemeriksaan terhadap perbaikan permohonan digelar Rabu (23/11) di Ruang Sidang MK.
Pemohon melalui Judianto Simanjutak selaku kuasa hukum menerangkan telah melakukan perbaikan terhadap permohonannya. Salah satunya dengan mempertajam dalil permohonan terkait negara hukum yang seharusnya melindungi hak warga negara. Aturan yang diujikan, menurut Pemohon, ustru tidak melindungi hak warga negara terutama para penghayat dan penganut kepercayaan seperti pemohon. Akibat aturan tersebut, pemohon kesulitan mendapatkan e-KTP dan kartu keluarga untuk identitas diri pemohon sebagai seorang warga negara. Seandainya mendapatkan e-KTP, Pemohon tetap merasa pengosongan kolom agama dalam e-KTP akan berdampak pada sulitnya pemohon diterima dalam kehidupan bermasyarakat, seperti kesulitan menerima pekerjaan.
“Meskipun aparatur pemerintah melayani dengan memberikan KK dan KTP elektronik dengan kolom agama kosong bagi penghayat kepercayaan, tetapi tetap juga menimbulkan masalah jika Pemohon membutuhkan kebutuhan sehari-hari, seperti tidak diterima di tempat pekerjaan karena kolom agamanya kosong atau tanda strip dan masalah lainnya,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo tersebut.
Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016 ini diajukan oleh Nggay Mehang Tana dkk yang merupakan penganut kepercayaan. Pemohon menguji Pasal 61 ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU Administrasi Kependudukan. Pasal 61 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan menyebutkan, “Kartu Keluarga memuat keterangan mengenai kolom nomor Kartu Keluarga, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orangtua.”
Sedangkan Pasal 61 ayat (2) UU a quo berbunyi, “Bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.”
Menurut Pemohon, Pasal 61 ayat (1) dan (2), Pasal 64 ayat (1) dan (5) UU Administrasi Kependudukan bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas kesamaan warga negara di hadapan hukum. Dalam rumusannya, tertulis bahwa KK dan KTP elektronik memuat elemen keterangan agama di dalamnya, namun khusus bagi penganut kepercayaan kolom agama tersebut dikosongkan sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pengosongan kolom agama pada KTP elektronik bagi penganut kepercayaan, menurut Pemohon, mengakibatkan Pemohon sebagai warga negara tidak bisa mengakses dan mendapatkan hak-hak dasar lainnya seperti hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas kesehatan, hak atas jaminan sosial beserta dengan seluruh layanannya, sehingga hal ini jelas melanggar hak asasi manusia. Sedangkan hak-hak dasar tersebut diatur dan dijamin dalam UUD 1945.
(Lulu Anjarsari/lul)