Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil Pasal 6, Pasal 59 ayat (7), dan Pasal 155 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Selasa (29/11). Agenda sidang Perkara Nomor 99/PUU_XIV/2016 tersebut adalah melakukan perbaikan permohonan.
Pemohon Hery Shietra menjelaskan pokok permohonan yang diperbaiki, yakni Pasal 6 UU Ketenagakerjaan tentang diskriminasi. Dalam praktik di Mahkamah Agung (MA), jelasnya, terdapat suatu yurisprudensi tetap yakni apple to appleparate prinsiple. Pengertiannya, yang sama diperlakukan sama, yang berbeda diperlakukan berbeda.
“Antara pekerja tetap diperlakukan berbeda dengan pekerja kontrak dan juga PKWT yang sejak semula diperlakukan berbeda dengan PKWTT demi hukum. Dengan kata lain, pekerja kontrak yang dialihkan demi putusan hakim sebagai pekerja tetap, itu memiliki hak yang berbeda dengan pekerja yang semula merupakan pekerja tetap,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Aswanto.
Berikutnya, kata dia, Pasal 59 UU Ketenagakerjaan sepanjang frasa “demi hukum”, berkembang tiga penafsiran. Pertama, demi hukum berubah menjadi pekerja tetap sejak putusan hakim dijatuhkan. Kedua, sejak pelanggaran normatif terjadi. Kemudian berkembang penafsiran ketiga yang diserukan para buruh, yakni bukan dihitung sejak pelanggaran tetapi dihitung sejak pekerja itu mulai bekerja. “Ini terkait dengan pesangon, cuma Pemohon tidak ingin menyinggung soal pesangon tapi lebih kepada upah proses,” katanya.
Sebelumnya , Pemohon berprofesi sebagai konsultan hukum merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 6 UU Ketenagakerjaan yang menyebutkan, “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.”
Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi,“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.”
Serta Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan, “Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.”
Pemohon mendalilkan saat ini pengusaha cenderung menggunakan perjanjian kerja untuk waktu tertentu bagi para pekerjanya walaupun pekerja tersebut dipekerjakan bertahun-tahun untuk suatu pekerjaan yang seharusnya dapat menjadi pegawai tetap. Alasan pengusaha menggunakan perjanjian kerja untuk waktu tertentu adalah untuk menghindari potensi risiko upah proses ketika dipersengketakan oleh pekerja.
“Saya baru mengetahui bahwa pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu tidak mendapat upah proses. Seluruh pengusaha mengetahui Yang Mulia bahwa perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat mengikat untuk pekerjaan tetap ataupun lebih dari 3 tahun. Seluruh pengusaha juga mengetahui perjanjian tidak tertulis berubah menjadi perjanjian tetap. Jadi apa yang dimaksud dengan demi hukum? Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menjadi objek sengketa tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan demi hukum,” kata Hery.
“Pasal 6 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menyebutkan tidak boleh ada diskriminasi, Yang Mulia. Kemudian Pasal 59 ayat 7 menyatakan bila terjadi pelanggaran terhadap norma-norma Undang-Undang Ketenagakerjaan mengenai perjanjian kerja, maka demi hukum berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu,” imbuhnya.
(ars/lul)