Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materi Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU Keistimewaan DIY) pada Selasa (29/11) siang. MK menghadirkan dua Ahli Pemohon yakni pakar hukum tata negara Saldi Isra dan Zainal Arifin Mochtar.
Saldi Isra menjelaskan, lhwal persyaratan calon pemimpin Yogyakarta yang tercantum dalam Pasal 18 huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 potensial menganulir proses internal dimaksud, khususnya masuknya kata istri tersebut bermakna seorang yang dapat menjadi calon gubernur dan wakil gubernur dapat dimaknai hanya seorang laki-laki saja.
“Dengan cara pandang yang lebih netral, terutama melihat perkembangan yang terjadi di internal Kesultanan Yogyakarta menjadi jauh lebih fleksibel sekiranya kata istri tersebut disebandingkan atau disepadankan dengan kata suamidengan membuat garis miring sehingga menjadi istri/suami. Bahkan, jauh lebih netral dengan menghapus sama sekali sebagaimana persyaratan dalam Undang-Undang Pilkada yang umumnya dilakukan di daerah-daerah lain di Indonesia dengan menggunakan batas penalaran yang wajar,” kata Saldi kepada Wakil Ketua MK Anwar Usman selaku pimpinan sidang yang teregistrasi dengan no. 88/PUU-XIV/2016.
Menurut Saldi, syarat tambahan berupa kata istri tersebut berlebihan bila dibandingkan dengan syarat kepala daerah yang lain. Misalnya yang diatur dalam Undang-Undang Pilkada yang sama sekali tidak mengharuskan pencantuman nama istri dan/atau suami. “Dalam hal ini, kita bisa merujuk ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Pilkada yang sama sekali tidak mencantumkan syarat tersebut. Pertanyaan amat mendasar yang patut dikemukakan, mengapa pencantuman syarat suami/istri tidak menjadi syarat normatif yang dicantumkan dalam Undang-Undang Pilkada?” urai Saldi.
“Padahal secara posisi, jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sama dengan daerah lain. Bahkan dalam level yang lebih tinggi. Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pun tidak meminta persyaratan pencantuman suami dan istri. Bisa dilihat dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008,” tambah Saldi.
Karena itu, ujar Saldi, dalam batas penalaran yang wajar, ketentuan tersebut tidak hanya berpotensi diskriminasi. Pengaturan seperti itu potensial melanggar prinsip negara hukum. Terkait dengan hal itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 08 Tahun 2004 menyatakan, “Negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga dengan sendirinya melarang diskriminasi berdasarkan atas perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik.”
Sementara itu pakar hukum tata negara lainnya, Zainal Arifin Mochtar menerangkan tujuan keistimewaan Yogyakarta yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU Keistimewaan DIY. Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa pengaturan keistimewaan Yogyakarta bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis, kesejahteraan dan ketenteraman masyarakat, tata pemerintahan, dan tata sosial yang menjamin Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, menciptakan pemerintahan yang baik, dan melembagakan peran dan tanggung jawab kesultanan dan kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa.
Sedangkan Pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa pemerintahan yang demoratis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan melalui pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur, pengisian keanggotaan DPRD melalui pemilihan umum, pembagian kekuasaan antara gubernur dan wakil gubernur dengan DPRD DIY, mekanisme penyeimbang antara pemerintah daerah, dan partisipasi masyarakat dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Pada ketentuan Pasal 5 ayat (2) tersebut memang ada frasa yang mencantumkan khusus perihal pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur yang dalam undang-undang kemudian dijabarkan secara mendetail dalam pasal-pasal berikutnya, yakni Pasal 18 hingga 27. Karenanya jika ditambahkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (5) yang menyatakan bahwa pemerintahan yang baik sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf d diwujudkan melalui prinsip efektifitas, transparansi, akuntabilitas, partisipasi, kesetaraan, dan penegakan hukum.
“Prinsip kesetaraan ini tetaplah menjadi hal yang utama dari keseluruhan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Artinya, jika dibaca secara menyeluruh, konsepsi tujuan keistimewaan maka pembacaan paripurna terhadap konsesi keistimewaan dapat dilihat tidak hanya perihal pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur. Bahwa keistimewaan tersebut hanya berkaitan dengan upaya memperlancar jalannya proses pemerintahan di Yogyakarta dengan menambahkan adanya prinsip kesetaraan,” tandas Arifin.
Selain dua Ahli Pemohon, hadir pula Paulus Yohanes Sumino sebagai Saksi Pemohon yang pernah menjadi Ketua Tim Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Komite I dam ikut merancang UU Keistimewaan DIY. “Yang Mulia Majelis Hakim bahwa ternyata ada kekurangan kata suami dan penggantian kata keluarga kandung menjadi saudara kandung pada rumusan Pasal 18 ayat (1) huruf n Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta ini tidak otentik, tidak sama dengan tugas pengutipan yang diambil dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Menurut hemat kami ini adalah kesalahan administratif dalam penyusunan, dalam penulisan undang-undang itu yang harus diperbaiki dan agar sesuai dengan amanat pembentuk undang-undang untuk mengutip persyaratan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 secara otentik yang memuat, yang seharusnya menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain, riwayat pendidikan, dan pekerjaan, serta keluarga kandung, suami dan istri,” papar Paulus.
Dikatakan Paulus, penambahan Pasal 18 ayat (1) huruf n UU Keistimewaan DIY bahwa calon gubernur adalah sultan yang bertahta dipersyaratkan bukan anggota partai politik adalah tuntutan partai-partai politik yang ada di DPR Komisi II pada saat itu yang disetujui. “Saya ulangi, disetujui oleh DPD dan oleh pemerintah dalam pembahasannya. Dimaksudkan agar sultan yang bertahta yang akan menjadi gubernur dapat mengayomi semua partai politik yang ada di Yogyakarta,” imbuh Paulus.
Sebagaimana diketahui, Para Pemohon merupakan 11 orang dengan beragam profesi, antara lain abdi dalem Keraton Ngayogyakarta, perangkat desa, pegiat anti diskriminasi hak asasi perempuan, serta aktivis perempuan ketua komnas perempuan 1998. Para pemohon mendalilkan bahwa Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY yang mengatur adanya kata “istri” dalam menyerahkan daftar riwayat hidup oleh calon Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, menimbulkan penafsiran seolah-olah harus laki-laki untuk menjadi calon gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal tersebut, menurut Pemohon, tidak mencerminkan norma-norma UUD 1945. (Nano Tresna Arfana)