Sebanyak 100 mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Suryakancana Cianjur berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (28/11). Peneliti MK Pan Mohamad Faiz Kusuma menerima rombongan mahasiswa tersebut di ruang delegasi MK lantai 4 Gedung MK.
Pada pertemuan itu Faiz menerangkan secara gamblang mengenai empat kewenangan dan satu kewajiban MK. Kewenangan MK yang pertama adalah menguji undang-undang terhadap UUD. “Ada istilah judicial review yang berarti pengujian undang-undang bersifat lebih umum,” kata Faiz yang didampingi Dedi Mulyadi selaku Wakil Dekan I FH Universitas Suryakancana Cianjur dan Asep Hasanudin sebagai Dosen FH Universitas Suryakancana Cianjur.
“Tapi ketika kita bicara soal constitutional review, artinya menguji konstitusionalitas. Berarti batu ujinya langsung kepada UUD 1945,” ujar Faiz mengenai kewenangan MK menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Dijelaskan Faiz, penggunaan istilah constitutional review dan judicial review dalam pengujian undang-undang berbeda-beda dari setiap negara. Di Inggris misalnya, tidak dikenal istilah constitutional review. Namun semua dikatakan sebagai judicial review.
Faiz melanjutkan, pada saat Undang-Undang MK dibentuk, undang-undang yang bisa diuji adalah undang-undang yang disahkan setelah perubahan UUD 1945. Artinya, undang-undang yang disahkan setelah tahun 2002 sampai saat ini. Namun kemudian ada pendapat bahwa kalau seperti itu, berarti undang-undang yang disahkan sebelum perubahan UUD 1945 tidak bisa diuji. “Pada akhirnya MK mengeluarkan putusan bahwa semua undang-undang bisa diuji, baik yang disahkan sebelum maupun setelah perubahan UUD 1945,” imbuhnya.
Hal lainnya, Faiz menanggapi masalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai peraturan yang bersifat mendesak. “Perppu bisa diujikan ke MK. Kedudukan Perppu sederajat dengan undang-undang,” kata Faiz.
Lebih lanjut Faiz menerangkan kewenangan kedua MK yakni memutus sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN). Dijelaskan Faiz, pengujian SKLN tidak banyak perkaranya, hanya 25 perkara sejak MK dibentuk. Namun demikian, kata Faiz, meskipun jumlah perkaranya sedikit, ini bisa menjadi jaminan bahwa memutuskan perkara SKLN tidak serta merta dilakukan secara politis seperti sebelumnya. Tapi bisa dilakukan secara hukum di MK.
Berikutnya, Faiz menjelaskan kewenangan MK memutus pembubaran partai politik (parpol). “Ada pertanyaan muncul bahwa parpol itu sebagai freedom of association, kenapa dibuka peluang untuk dibubarkan? Apakah hal ini bisa menghambat hak asasi warga negara Indonesia?” ucap Faiz.
Mengenai alasan adanya kewenangan MK memutus pembubaran parpol, terang Faiz, berangkat dari sejarah masa lalu di Indonesia. Pada masa Bung Karno, ada parpol Masyumi dan PKI yang pembubarannya dilakukan sepihak oleh pemerintah, tanpa melalui jalur hukum. Parpol yang dibubarkan tidak diberikan kesempatan untuk mempertahankan haknya, membela haknya.
“Sebenarnya mekanisme kewenangan MK memutus pembubaran parpol ini bertujuan memberikan hak kepada parpol untuk membela diri, berargumentasi kalau parpol yang bersangkutan tidak bertentangan dengan konstitusi misalnya,” ungkap Faiz.
Ia pun menjelaskan bahwa sampai sekarang MK Republik Indonesia belum pernah menggunakan wewenang memutus pembubaran parpol. “Negara-negara yang pernah memutus pembubaran parpol, antara lain MK Korea, MK Turki dan MK Jerman,” tambah Faiz.
Selanjutnya, Faiz menguraikan kewenangan MK memutus perselisihan hasil pemilihan umum (pemilu). Awalnya, MK berwenang memutus perselisihan hasil pemilihan presiden dan atau wakil presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg). Namun kemudian MK mendapat ‘kewenangan tambahan’ untuk memutus sengketa pilkada. Kewenangan memutus sengketa Pilkada ini disebut sebagai ‘kewenangan transisi’. Artinya MK mendapat kepercayaan memutus sengketa perkara pilkada hingga terbentuk peradilan khusus sengketa Pilkada.
Selain empat kewenangan MK tersebut, lanjut Faiz, MK juga memiliki kewajiban memutus pendapat DPR terkait pemakzulan atau impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden. (Nano Tresna Arfana/lul)