Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan batas waktu perkara praperadilan dinyatakan gugur saat telah digelar sidang pertama terhadap perkara pokok atas nama terdakwa/pemohon praperadilan. Putusan dengan Nomor 102/PUU-XIII/2015 tersebut diucapkan Ketua MK Arief Hidayat didampingi oleh hakim konstitusi lainnya, Rabu (9/11) di Ruang Sidang MK.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa suatu perkara sudah mulai diperiksa tidak dimaknai permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan,” ujar Arief membacakan putusan dari permohonan yang diajukan oleh Bupati Morotai Periode 2012-2016 Rusli Sibua tersebut.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan Hakim Konstitusi Manahan Sitompul, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya berkenaan dengan ruang lingkup praperadilan sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Nomor 21/PUU-XII/2014, bertanggal 28 April 2015, yang menyatakan bahwa praperadilan mencakup pula sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan sebagai objeknya. Ia menyebut Hukum Acara Pidana menjamin hak setiap tersangka untuk mengajukan praperadilansebagaimana dinyatakan dalam Pasal 79 dan Pasal 80 KUHAP. Selain itu, lanjutnya, ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum agar tidak terjadi dualisme hasil pemeriksaan yaitu antara pemeriksaan yang sah yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum dengan pemeriksaan yang diduga adanya tindak pidana yang dilakukan oleh pemohon sehingga diajukan praperadilan.
Akan tetapi, Manahan melanjutkan, dalam praktik, ternyata ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP tersebut seringkali menimbulkan perbedaan penafsiran dan implementasi oleh para hakim praperadilan. Menurut Mahkamah, perbedaan penafsiran demikian bukanlah semata-mata masalah penerapan atau implementasi norma. Perbedaan penafsiran itu lahir sebagai akibat dari ketidakjelasan pengertian yang terkandung dalam rumusan norma itu sendiri. Dalam hal ini, terangnya, pengertian tentang “perkara mulai diperiksa” yang dapat menyebabkan gugurnya praperadilan.
“Tegasnya, penafsiran dan implementasi yang dimaksudkan adalah mengenai kapan batas waktu suatu perkara permohonan praperadilan dinyatakan gugur yang disebabkan adanya pemeriksaan terhadap pokok perkara di pengadilan negeri,” terang Manahan.
Pelimpahan Berkas
Namun, dalam praktik ternyata tidak ada keseragaman penafsiran di kalangan para hakim praperadilan mengenai hal tersebut. Ada hakim praperadilan yang berpendapat bahwa perkara permohonan praperadilan gugur setelah berkas pokok perkara dilimpahkan oleh Jaksa Penuntut Umum dan dilakukan registrasi di Pengadilan Negeri dengan alasan tanggung jawab yuridis telah beralih dari Jaksa Penuntut Umum ke Pengadilan Negeri. Sebaliknya, ada pula hakim praperadilan yang berpendapat bahwa batas waktu perkara permohonan praperadilan gugur adalah ketika pemeriksaan perkara pokok sudah mulai disidangkan. Untuk menghindari adanya perbedaan penafsiran dan implementasi sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat demi kepastian hukum dan keadilan, perkara praperadilan dinyatakan gugur pada saat telah digelar sidang pertama terhadap perkara pokok atas nama terdakwa/pemohon praperadilan.
Menurut Mahkamah, penegasan inilah yang sebenarnya sesuai dengan hakikat praperadilan dan sesuai pula dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP. Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas Mahkamah berpendapat bahwa norma Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP yang berbunyi, “dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur” adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa “perkara sudah mulai diperiksa” tidak diartikan telah dimulainya sidang pertama terhadap pokok perkara yang dimohonkan praperadilan dimaksud.
“Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, demi terciptanya kepastian hukum, Mahkamah perlu memberikan penafsiran yang menegaskan mengenai batas waktu yang dimaksud pada norma a quo, yaitu “permintaan praperadilan dinyatakan gugur ketika telah dimulainya sidang pertama terhadap pokok perkara yang dimohonkan praperadilan”. Dengan demikian, dalil permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian sebagaimana akan dinyatakan dalam amar putusan ini,” tandasnya.
Pemohon merupakan terpidana tindak pidana suap dalam kasus sengketa pilkada Kabupaten Morotai. Ia menyoal Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP yang mengatur hak tersangka dan Pasal 82 ayat (1) KUHAP yang mengatur gugurnya permintaan praperadilan dikarenakan perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan. Pemohon mendalilkan ketentuan mengenai gugurnya praperadilan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP juga akan menjadi multitafsir ketika dihubungkan dengan Pasal 147 KUHAP. Pasal 147 KUHAP menyatakan, setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya. Sebab, jelas Chairul, kata mempelajari dalam Pasal 147 KUHAP juga memiliki pengertian memeriksa.
(Lulu Anjarsari/lul)