Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) selaku Pihak Terkait menghadirkan dua ahli dalam sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU KUHP), Senin (28/11).
Dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman, Budhy Munawar Rachman selaku ahli Pihak Terkait menjelaskan asas hidup itu hanya ada dua yaitu yang benar dan yang salah. “Dalam agama Islam, asas hidup yang benar adalah takwa kepada Allah dan keinginan untuk mencapai ridhanya,” kata Budhi yang merupakan Dosen Islamologi dan Filsafat Islam Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara.
“Melalui takwa inilah kemudian kita menyadari akan adanya kehadiran Tuhan dalam hidup ini. Inti takwa adalah kesadaran yang sangat mendalam bahwa Allah selalu hadir dalam hidup kita. Takwa ialah kalau kita mengerjakan sesuatu maka dikerjakan dengan sepenuhnya kesadaran bahwa Allah beserta kita,” tambah Budhy.
Dijelaskan Budhy, manusia menurut Islam diciptakan oleh Allah dalam keadaan fitrah. Fitrah adalah kelanjutan dari perjanjian kita dengan Allah ketika kita masih berada di alam rohani.
“Agama pun sebenarnya adalah perjanjian yang dalam bahasa Arab disebut sebagai mitsaq atau ahdun Yang intinya adalah ibadah memperhambakan diri kepada Allah. Karena Allah telah kita akui sebagai Rabb atau sebagai Pangeran yang implikasinya adalah kita akan menempuh jalan hidup yang benar. Inilah yang merupakan asas hidup, jalan hidup yang benar. Jalan inilah yang pernah juga dimintakan kepada Adam dan seperti digambarkan Al-Qur’an,” papar Budhy.
Namun, lanjut Budhy, manusia pertama, yakni Adam ternyata tidak sepenuhnya memegang teguh mengenai jalan hidup. Dia melanggar perjanjian itu dengan mendekati sebuah pohon di surga. Akibatnya Adam diusir dari surga dan jatuh secara tidak terhormat. “Kita sebagai anak cucu Adam juga punya potensi untuk jatuh seperti itu. Kita semua punya kemungkinan untuk melanggar larangan Allah, melupakan janji dengan Allah sehingga kita pun jatuh tidak terhormat,” ungkap Budhy.
Perzinaan, pencabulan dan adanya anggota keluarga yang memiliki orentasi seksual sejenis, menurutnya, dapat ditafsirkan sebagai melanggar aturan Allah. “Kita semua pernah di surga di alam kebahagiaan. Maka sebetulnya surga kita yang paling dekat adalah ketika masih berada dalam perut ibu. Tempat itu disebut rahim yang artinya cinta kasih Allah,” tandas Budhy.
Sementara itu, Direktur Eksekutif INSISTS (Institute for The Study of Islamic Thought and Civilizations) Syamsuddin Arif menerangkan konsep kriminalisasi atau pemidanaan dari perspektif filosofis. “Kalau kita baca literatur, tindak pidana secara yuridis diartikan sebagai perbuatan yang salah menurut undang-undang atau tindakan melanggar aturan hukum yang berlaku dan diakui secara legal. Sementara para sosiolog biasa memaknai kejahatan sebagai pola tingkah laku yang merugikan masyarakat. Dengan kata lain, mereka mensyaratkan adanya korban untuk suatu perbuatan dikatakan kejahatan atau kriminal. Mereka juga mengatakan bahwa yang disebut tindakan kriminal adalah pola tingkah laku yang mendapatkan reaksi sosial dari masyarakat,” ujar Syamsuddin selaku ahli yang juga dihadirkan Pihak Terkait.
Kejahatan, imbuhnya, tidak terbatas pada persoalan apakah itu melanggar undang-undang semata. Suatu perbuatan dikatakan kejahatan, menurutnya, apabila melibatkan korban yang diartikan sebagai pihak yang merasa atau dianggap terganggu, diganggu, dirugikan secara material maupun non material.
Lebih lanjut, Syamduddin menilai hukum sebenarnya tidak mesti dipisahkan dari moralitas. Hal itu sebagaimana dikatakan Grote Yus pemikir abad pertengahan. Hukum itu sendiri adalah aturan perilaku moral yang mewajibkan orang untuk melakukan tindakan perbuatan yang benar.
“Lebih jauh lagi, tindakan pidana yang sesungguhnya terkait dengan esensi manusia sebagai makhluk rasional, ini perlu dipertimbangkan. Seperti dikatakan filosof Jerman Immnauel Kant bahwa manusia pada hakekatnya adalah makhluk rasional yang memiliki kewajiban moral. Kewajiban ini membedakan manusia dengan makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Seperti binatang, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, mereka tidak punya kewajiban moral,” imbuh Syamsuddin.
Perkara yang dimohonkan sejumlah masyarakat dengan latar belakang berbeda tersebut memohonkan uji materi Pasal 284 ayat (1) sampai ayat (5), Pasal 285, dan Pasal 292 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP). Para Pemohon merasa dirugikan hak konstitutionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan sebagai pribadi, keluarga, dan masyarakat atas berlakunya pasal yang mengatur mengenai perzinaan, perkosaan, dan pencabulan tersebut. (Nano Tresna Arfana/lul)