Mahkamah Konstitusi (MK) bekerja sama dengan Lembaga Konsultan Hukum dan Manajemen Jaminan Sosial dan Pelayanan Kesehatan Indonesia (Jamsos Indonesia) Martabat menyelenggarakan dialog refleksi 12 tahun Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Kamis (24/11). Kegiatan tersebut dihadiri Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah serta Ketua Jamsos Indonesia A. A. Oka Mahendra bertempat di Ruang Delegasi Lantai 4.
Dalam sambutannya, Oka mengucapkan terima kasihnya atas kesediaan MK menggandeng pihaknya bekerja sama untuk melaksanakan agenda tersebut. Ke depan, Oka berharap kerja sama tersebut bisa langgeng dan terus terlaksana di masa akan datang.
Oka menyatakan SJSN adalah amanat UUD 1945, tepatnya Pasal 34 ayat (2). Tujuan SJSN adalah untuk memberdayakan masyarakat lemah dan tidak mampu. “Dari sinilah cikal bakal lahirnya UU No 40 tahun 2004 tentang SJSN,” jelas mantan Sekjen MK tersebut.
Dia menyebut lahirnya UU SJSN bukan akhir dari perjuangan. Menurutnya, butuh waktu 7 tahun untuk melengkapi UU SJSN dengan undang-undang yang lebih khusus terkait teknis pelaksanaannya. Kemudian lahir UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Menurut Oka, kemajuan baru terjadi saat BPJS Kesehatan dan ketenagakerjaan diterapkan pada 1 Januari 2014. “Meski demikian banyak hal yang mesti dibenahi ke depan. Misal terkait infrastruktur, SDM, serta manajemen SJSN,” katanya menegaskan.
Lebih lanjut, Oka menjelaskan keberhasilan SJSN mesti dilihat dari empat faktor. Pertama, sejauh mana daya jangkaunya di tengah masyarakat. Kedua, sejauh mana SJSN memebrikan perlindungan yang adil. Ketiga, kebermanfaatan SJSN bagi masyarakat. Terakhir, yakni sinkronisasi sistem SJSN di masyarakat.
Sementara itu, dalam sambutannya Guntur mengapresiasi pelaksanaan dialog tersebut. Menurutnya, dialog terkait SJSN harus terus digalakkan agar ke depannya SJSN di Indonesia semakin mantap dan stabil. “Kekurangan yang ada didiskusikan bersama untuk dicari pemecahannya,” ujarnya.
SJSN, jelasnya, merupakan bentuk intervensi dan campur tangan negara yang bersifat positif. Sebab, negara sifatnya membantu masyarakat yang tidak memiliki kemampuan akses terhadap kesehatan dan kesejahteraan dalam rangka menghadirkan keadilan di tengah masyarakat.
“Justru dengan tidak adanya SJSN, artinya negara abai dan alpa pada masyarakatnya. Ini bisa ditafsirkan negara tidak menjalankan konstitusi secara menyeluruh,” jelasnya di depan 40 peserta dialog yang hadir.
Maka dari itu, imbuhnya, SJSN menjadi wajib dan diperlukan sekali sebagai sebuah kebijakan yang solutif bagi masyarakat.
(ars/lul)