Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan dari Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Ageng Tirtayasa (Untirta) Banten. Kunjungan tersebut diterima oleh Panitera Pengganti MK Mardian Wibowo, Jumat (24/11) di Gedung MK.
Dalam kunjungan tersebut, Mardian langsung membuka tanya jawab dengan peserta. Menjawab pertanyaan mengenai hukum acara di MK, ia menjelaskan dalam UU MK tidak dijabarkan secara detail mengenai hukum beracara, maka MK membuat Peraturan Mahkamah Konstitusi untuk merinci hukum beracara empat kewenangan dan satu kewajiban MK. Ia juga menambahkan hukum acara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah merupakan PMK terbanyak yang dilakukan revisi.
“Ada beberapa PMK dan beberapa dari itu telah direvisi kaidah hukum acaranya. Paling sering direvisi adalah PMK terkait PHP Kada karena perubahan UU Pilkada. Aturan yang termasuk sering berubah adalah mengenai syarat pemohon di MK,” ujarnya di hadapan sekitar 250 mahasiswa tersebut.
Selain itu, Mardian menjelaskan MK mempunyai empat kewenangan dan satu kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kewenangan MK tersebut di antaranya MK berwenang menguji UU terhadap UUD 1945. Selain itu, MK memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. MK juga memutus pembubaran partai politik. Terakhir, MK memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Akan tetapi, lanjutnya, kewenangan PHP Kada hanya akan dipegang MK sementara selama belum terbentuk badan peradilan khusus. “Perlu diketahui bahwa MK tidak pernah memutus PHPKada dengan menyebut pasangan yang menang, melainkan hanya jumlah penghitungan suara yang benar. Itu pun hanya mempermasalahkan penghitungan yang dimohonkan oleh Pemohon,” terangnya.
Adapun satu kewajiban MK adalah wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela.
Terkait pertanyaan apakah MK merupakan positive legislator yang dapat menambah norma baru, Mardian menjelaskan bahwa MK hanya bersifat negative legislator. Ia menekankan bahwa positive legislator hanya dapat dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sebagai pembuat undang-undang.
”MK adalah negative legislator; meniadakan apa yang telah dibuat oleh positive legislator. Meski Putusan MK tidak boleh ada norma baru, tapi terkadang memang ada penafsiran norma baru yang lahir yang muncul karena adanya putusan konstitusional bersyarat atau inkonstitusional bersyarat,” paparnya.
Usai menjelaskan dan sesi tanya jawab, para mahasiswa langsung menuju ke Pusat Sejarah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari kerja. Di museum ini, Konstitusi dipelajari dalam delapan zona. Delapan zona tersebut yaitu zona pra kemerdekaan, zona kemerdekaan, zona undang-undang dasar 1945, zona konstitusi RIS, zona UUD sementara 1950, zona kembali ke UUD 1945, zona perubahan UUD 1945, zona mahkamah konstitusi. (Lulu Anjarsari/lul)