Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Larangan Praktik Monopoli), Rabu (23/11). Agenda sidang perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 tersebut adalah mendengar keterangan DPR dan pihak terkait.
Wakil Ketua Komisi VI Azam Azman Natawijana yang mewakili DPR menilai, dalil pemohon yang menyatakan Pasal 36 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i, Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU Larangan Praktik Monopoli sepanjang frasa ‘penyelidikan dan/atau pemeriksaan’ tidak memberikan kepastian hukum adalah tidak tepat.
DPR berpandangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan lembaga yang bersifat independen yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat, serta menciptakan ketertiban dalam persaingan usaha, juga berperan untuk menciptakan dan memelihara iklim persaingan usaha yang kondusif. Kedudukan KPPU, jelasnya, merupakan lembaga administratif karena kewenangan yang melekat padanya adalah kewenangan administratif.
“Penyelidikan dan/atau pemeriksaan dalam undang-undang a quo merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh investigator KPPU untuk mendapatkan bukti yang cukup sebagai kelengkapan dan kejelasan laporan klarifikasi, laporan hasil kajian, laporan hasil penelitian, dan hasil pengawasan dalam penyelidikan, dan/atau pemeriksaan administratif sehingga sanksi yang dijatuhkan pun merupakan sanksi administratif,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Lebih lanjut, menurutnya, pencantuman frasa ‘penyelidikan dan/atau pemeriksaan’ merupakan suatu penegasan kegiatan penyelidikan dan/atau pemeriksaan dilakukan oleh KPPU untuk mendapatkan kejelasan, guna untuk menjatuhkan putusan administratif. Sehingga, sangkaan dan pengaitan pemohon terhadap penyelidikan pidana tidak benar karena dalam undang-undang a quo pun sudah ditegaskan bahwa yang dilakukan KPPU adalah penyelidikan dan/atau pemeriksaan administratif.
“Bahwa undang-undang a quo menyatakan penyelidikan KPPU adalah penyelidikan administratif, sehingga tidak ada hak konstitusionalitas Pemohon yang dirugikan dengan adanya frasa penyelidikan,” katanya menegaskan.
Tidak Ada Upaya Paksa
Sementara, Ketua KPPU Syarkawi Rauf sebagai pihak terkait menegaskan lembaganya tidak memiliki upaya paksa. Oleh karena itu, seluruh tindakan yang dilakukan KPPU adalah tindakan yang bersifat administratif.
“Upaya paksa itu baru ada, tindak pidana itu baru bisa ada kalau masuk ke tahapan penyelidikan dan pemeriksaan di undang-undang ini, apabila si terlapor tidak kooperatif. Jadi, tindakan pidana baru bisa muncul kalau si terlapor tidak kooperatif terhadap undangan KPPU. Nah, mereka kemudian kami bawa ke kepolisian,” jelasnya.
Terkait unsur penyidik di KPPU, ia menjelaskan tak ada dari unsur kepolisian. Seluruh penyidik KPUU berasal dari internal KPPU saja. Namun, ia mengaku pihaknya memiliki MoU joint investigation dengan Polri.
Pemohon perkara ini adalah PT. Bandung Raya Indah Lestari. Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan ketentuan Pasal 22, 23, 24, Pasal 26 huruf c, d, h, i, Pasal 41 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 44 ayat (4), ayat (5) UU Larangan Praktik Monopoli berkaitan dengan keputusan KPPU Nomor 12/KPPU-L/2015 yang membatalkan proses pelelangan badan usaha. Menurut Pemohon, pelelangan tersebut telah dimenangkannya secara jujur, fair, dan terbuka.
Dalam dalil permohonannya, Pemohon menyatakan pasal-pasal yang diujikan tersebut tidak mengatur secara jelas dan tegas kedudukan KPPU. “Apakah (KPPU, red) sebagai lembaga administratif yang diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan secara administatif atau sebagai penegak hukum pidana yang berwenang melakukan penyelidikan,” jelas kuasa Pemohon Muhammad Ainul Syamsu, Kamis (6/10).
Lebih lanjut, menurut Pemohon, frasa “pihak lain” dalam Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 UU Larangan Praktik Monopoli tidak memberikan kepastian hukum. Sebab, pemohon menilai frasa tersebut bersifat multitafsir dan tidak jelas sehingga membuka ruang bagi lembaga tertentu untuk bertindak sewenang-wenang. Menurut pemohon, frasa “pihak lain” seharusnya dimaknai sebagai frasa “pelaku usaha lain”.
Selain itu, Pemohon menganggap frasa “penyelidikan dan/atau pemeriksaan” dalam Pasal 36 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i dan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) Larangan Praktik Monopoli tidak memberikan kepastian hukum karena seolah-olah KPPU atau unit kerja di dalamnya mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan. Ketidakjelasan tersebut dinilai dapat memberikan celah hukum karena KPPU dapat menjadikan hasil pemeriksaan administratif sebagai hasil penyelidikan.
“Ketidakjelasan tersebut juga berpotensi untuk memberikan ruang kepada KPPU untuk memberikan makna secara luas untuk menjalankan fungsi penyelidikan, fungsi penuntutan dan fungsi ajudikasi secara sekaligus,” katanya.
Padahal, pemohon berpendapat KPPU tidak mempunyai wewenang berdasarkan undang-undang untuk menjalankan ketiga fungsi tersebut, kecuali melakukan pemeriksaan administratif terhadap pelaku usaha.
(ars/lul)