Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan Duta Besar Jerman untuk Indonesia Michael Freiherr von Ungern-Sternberg, Rabu (23/11). Audiensi tersebut diterima langsung oleh Ketua MK Arief Hidayat didampingi oleh Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah dan Kepala Biro Humas dan Protokol Rubiyo di Ruang Delegasi Lantai 15.
Pada kesempatan tersebut, Arief menyatakan rasa terima kasih atas kunjungan Ungern-Sternberg. Arief menyatakan sudah dua kali Jerman mengunjungi MKRI. Kunjungan pertama adalah kunjungan Kanselir Jerman Angela Merkel pada tahun 2013. Harapannya kunjungan kedua tersebut semakin memperkuat kerja sama dua negara di bidang yudisial.
Arief pun menyatakan MKRI sudah memiliki niat untuk berkunjung ke MK Jerman, namun kunjungan tersebut belum terwujud lantaran waktu yang belum tepat. “Kita hendak kesana tetapi belum cocok agendanya. Sebab, berbenturan dengan jadwal MK Jerman yang ingin berkunjung ke MK Korea,” ungkapnya.
Momen kunjungan tersebut pun dimanfaatkan Ungern-Sternberg untuk mengetahui lebih jauh tentang sistem hukum di Indonesia. Kepada Ketua MK, Ungern-Sternberg mengajukan dua pertanyaan mengenai terkait itu. Pertama, tentang aturan hukum pernikahan berbeda agama di Indonesia. Sebab ia mendengar hal itu sulit dilakukan di Indonesia, berbeda dengan negara Eropa yang menurut pandangannya lebih bebas.
Arief menyebut landasan pembuatan undang-undang di Indonesia adalah Pancasila. Hal tersebut menunjukkan aturan di Indonesia tidak bisa disamakan konteksnya dengan di negara barat. Sebab, nilai-nilai Pancasila mengandung elemen religius. “Pernikahan adalah masalah kesamaan visi misi hidup. Termasuk juga masalah kesamaan agama,” jelasnya.
Jika terjadi pernikahan beda agama di Indonesia, Arief menjelaskan pernikahan tersebut akan dicatat di kantor catatan sipil. Sedangkan tata cara pernikahan akan dilakukan sesuai agama salah satu pasangan. Adapun untuk pernikahan sesama beragama Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA).
Kedua, Ungern-Sternberg bertanya tentang sistem demonstrasi di Indonesia. Ia mempertanyakan apakah suatu demonstrasi yang dilarang untuk dilakukan bisa digugat ke pengadilan.
Menjawab hal tersebut, Arief menyebut demonstrasi di Indonesia bersifat longgar dan demokratis. Hal tersebut merupakan efek dari reformasi 1998 silam. “Bentuk pengaturan demonstrasi tak boleh mengganggu kepentingan umum, serta dibatasi maksimal sampai jam 6 sore. Jika hal tersebut dilanggar, baru lah demonstrasi dapat dibubarkan aparat,” jelasnya.
Sementara itu, Guntur bertanya sekilas tentang pembubaran parpol oleh MK Jerman. Kewenangan tersebut pun dimiliki MKRI, namun MK Jerman dirasa lebih komprehensif karena sudah memiliki aturan tentang hukum acara pembubaran partai politik, berbeda dengan Indonesia yang belum memiliki.
“Di Jerman pihak yang mengajukan permohonan pembubaran parpol adalah pemeritah. Namun prosesnya memang tidak mudah,” jelas Ungern-Sternberg.
Sejauh ini, kata dia, partai yang diindikasikan dapat dibubarkan adalah partai dengan ideologi kelompok sayap kanan Jerman.
(ars/lul)