Sejumlah perbaikan permohonan disampaikan Pemohon uji materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) dan UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan) dalam sidang perbaikan permohonan, Senin (21/11) di ruang sidang Mahkamah Konstitusi. Pokok-pokok perbaikan antara lain penambahan Pemohon dan perbaikan susunan kuasa hukum.
Bayu Segara, selaku kuasa hukum Pemohon memaparkan penambahan Pemohon, dari yang semula 12 Pemohon menjadi 19 Pemohon. Selain itu, Pemohon menambahkan alasan lebih detail soal kerugian konstitusional terhadap norma-norma yang diujikan, yakni Pasal 37 ayat (3) UU Dikti dan Pasal 29 ayat (2) UU Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
“Beberapa perbaikan alasan Pemohon di mana kami berangkat dari pemberlakuan norma yang terjadi akibat adanya pemaknaan kata dapat dalam norma a quo yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran konstitusional yang secara eksplisit tegas dijamin oleh konstitusi. Artinya, terdapat problematika konstitusional terhadap norma a quo yang diuji, seperti apa yang selalu ditekankan oleh Majelis Hakim Konstitusi dalam putusan-putusannya,” papar Kuasa Pemohon Bayu Segara dalam sidang perkara Nomor 98/PUU-XIV/2016.
Berikutnya, Pemohon pun memperbaiki permohonan menyoal persyaratan menjadi profesor. Menurut Pemohon, seseorang dapat menjadi profesor paling singkat 3 tahun setelah memperoleh ijazah doktor dan karya ilmiah dipublikasi pada jurnal internasional bereputasi. Profesor juga harus memiliki pengalaman kerja sebagai dosen tetap paling singkat 10 tahun.
Sebelumnya, gabungan profesi praktisi hukum konstitusi, dosen hukum, dan guru Bahasa Indonesia menguji ketentuan penggunaan bahasa asing sebagai pengantar. Pemohon menilai, dalam pelaksanaannya bahasa asing bukan hanya sekadar menjadi bahasa pengantar tetapi menjadi syarat diterimanya dan syarat kelulusan di berbagai perguruan tinggi. Sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam implementasinya. Oleh karena itu, Pemohon beranggapan pasal a quo tersebut menimbulkan kerugian konstitusional Pemohon. Sehingga apabila dikabulkan oleh Mahkamah tidak terjadi potensi kerugian konstitusional di kemudian hari.
Pemohon juga beranggapan, pemuda Indonesia cenderung tidak percaya diri dalam pergaulan dalam negeri saat tidak bisa aktif menggunakan bahasa asing atau bahasa Inggris. Artinya, kebanggaan terhadap bahasa Indonesia sudah terdistorsi oleh bahasa Inggris di negaranya sendiri. Apalagi hampir seluruh perguruan tinggi mensyaratkan bahasa asing atau bahasa Inggris sebagai syarat yang mutlak bagi peserta didik untuk diterima dan lulus di perguruan tinggi yang dituju.
Padahal, menurut Pemohon, bahasa asing merupakan hanya sebagai penunjang saja. Hal tersebut dinilai membingungkan bagi Pemohon yang menggeluti bidang ilmu pengetahuan bahasa Indonesia. Selain itu Pemohon juga sulit menjelaskan kepada peserta didik mengenai mana yang lebih menjadi prioritas antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris.
(Nano Tresna Arfana/lul)