Pemaknaan yang terbatas dalam aturan mengenai pencabulan seperti tercantum pada Pasal 292 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) membuka peluang pembiaran bagi perilaku pencabulan. Demikian diungkapkan oleh Abdul Mujib sebagai ahli yang dihadirkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam sidang uji materiil KUHP yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) di Ruang Sidang MK, Rabu (16/11).
Guru Besar Psikologi yang juga Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah tersebut menjelaskan beberapa ketentuan dalam KUHP yang perlu dimaknai lebih luas adalah Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292.
Mujib menjelaskan, ketentuan dalam Pasal 284 KUHP yang hanya mengatur tindak pidana bagi pelaku zina yang berstatus telah terikat perkawinan mengesankan bahwa perilaku zina hanya berdampak bagi suami atau istri pelaku. Padahal, tambahnya, apabila perbuatan zina tersebut dilakukan oleh lelaki atau perempuan yang sudah dewasa namun belum menikah, orang tua dan keluarga merupakan “korban” akibat pelaku dari perzinaan terhadap anaknya.
“Apa pun yang terjadi pada anak, orang tua dapat mengayomi, melindungi, dan membantu untuk kebaikan anaknya. Sekalipun anak sudah dewasa, ikatan anak dan orang tua masih terus berlanjut. Bahkan sampai kematian pun berlanjut, seperti pembagian harta waris. Orang tua dapat menuntut pelaku yang berbuat zina pada anaknya. Sekalipun hubungan perzinaan tersebut dilakukan suka sama suka,” jelasnya.
Terkait Pasal 285 KUHP, Mujib menjelaskan, pembatasan pencabulan hanya terhadap wanita menyebabkan perkosaan terhadap kaum pria tidak tercakup dalam perlindungan ketentuan tersebut. Menurut Mujib, saat ini kaum pria pun berpotensi menjadi korban pemerkosaan, terutama karena saat ini telah banyak dan secara terang-terangan kaum pria memiliki orientasi seksual homoseksual.
“Kalau orang itu kaum homo, kaum gay, yang orientasi seksualnya homoseksual tidak akan bergairah melakukan hubungan seksual dengan wanita. Ia hanya bisa bergairah berhubungan seksual dengan sejenis. Pada kondisi ini sudah pasti korbannya adalah pria, bukan wanita,” jelasnya.
Sementara mengenai Pasal 292 KUHP, Mujib menilai perbuatan pencabulan yang hanya dibatasi pada sesama jenis telah mempersempit makna pencabulan itu sendiri. Padahal, lanjut Mujib, pencabulan juga dapat terjadi terhadap orang yang berbeda jenis kelamin. “Kami mohon agar kata tersebut dibuang saja, jadi cukup dengan kalimat perbuatan cabul dengan orang lain yang diketahuinya tanpa menyebutkan sesama kelamin, sehingga bisa luas bukan hanya sesama kelamin tapi juga beda kelamin,” urainya.
Selain itu, Mujib juga mencermati keberadaan frasa belum dewasa pada pasal tersebut yang telah membatasi perbuatan cabul tidak mencakup pada orang dewasa. “Padahal korban pencabulan bukan hanya belum dewasa, tapi juga ada orang dewasa. Bisa jadi dia dewasa secara kronologis usia tetapi dalam hal tertentu dia dalam penguasaan sehingga dia tidak berdaya,” tuturnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Butuh Tindakan Preventif
Pada sidang tersebut, MUI juga menghadirkan praktisi kedokteran jiwa Agung Frijanto sebagai ahli yang menerangkan mengenai LGBT dari sisi kejiwaan. Frijanto menyebut para pelaku LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) termasuk kategori memiliki risiko tinggi untuk mengalami gangguan jiwa dan gangguan fisik. Di luar negeri, sambungnya, para pelaku LGBT mempunyai rata-rata prevalensi lebih tinggi terhadap perilaku bunuh diri dan berbagai jenis gangguan jiwa lainnya dibanding yang heteroseksual.
“Kemudian juga mempunyai risiko tinggi untuk mengalami kecemasan dan penyalahgunaan zat sepanjang hidupnya. Dan dia juga mempunyai risiko untuk peningkatan mengalami atau mencoba untuk melakukan bunuh diri,” ujarnya.
Hal ini, sambungnya, tidak sesuai dengan bioetika kedokteran yang menyebut seorang individu mempunyai tugas, yaitu memelihara agamanya, jiwa, kehormatan, akal, dan hartanya. “Dari sudut ini bioetika kedokteran Islam melihat bahwa yang masalah LGBT ini ada kecenderungan untuk melanggar memelihara hak untuk kehormatan dan keturunan atau yang disebut sebagai hives alnasel,” terangnya.
Untuk itu, lanjutnya, demi menciptakan generasi yang baik dan sehat harus ditempuh dengan dua upaya, yaitu preventif dengan menjaga kesehatan dan menjauhkan perzinaan dan perilaku seksual yang menyimpang. Hal ini sebagai penentu untuk menjamin kehormatan martabat manusia. Pasal-pasal yang dimohonkan Pemohon, menurutnya, tidak mencakup dua upaya preventif tersebut sehingga sangat patut untuk dikaji. “Pasal-pasal ini menurut saya sangat tidak sesuai dengan kearifan lokal, nilai-nilai religi, dan spiritualitas bangsa, saya kira ini sangat patut untuk dikaji dan di-review sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Pemohon,” tegasnya
Perkara yang dimohonkan sejumlah masyarakat dengan latar belakang berbeda tersebut memohonkan uji materi Pasal 284 ayat (1) sampai ayat (5), Pasal 285, dan Pasal 292 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP). Para Pemohon merasa dirugikan hak konstitutionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan sebagai pribadi, keluarga, dan masyarakat atas berlakunya pasal yang mengatur mengenai perzinaan, perkosaan, dan pencabulan tersebut. (Lulu Anjarsari/lul)