Sidang lanjutan uji materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasa (Perppu No. 51/1960) digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (16/11). Agenda sidang perkara Nomor 96/PUU-XIV/2016 tersebut adalah perbaikan permohonan.
Diwakili oleh kuasa hukumnya Alldo Felix Januardy, Pemohon memperkuat dalil permohonannya dengan menambahkan landasan filosofis yang menjadi dasar permohonan. Menurut Pemohon, Perppu No. 51/1960 bertentangan dengan semangat reformasi agraria yang ingin membuat peraturan hukum agraria lebih modern sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.
“Di mana letak pertentangannya? Karena satu, undang-undang yang kita mohonkan itu masih menganut asas kolonial, hukum kolonial, yaitu asas domein verklaring, dimana ketika warga tidak bisa membuktikan kepemilikan tanahnya padahal kondisi situasi lembaga pertanahan juga masih penuh dengan korupsi, kolusi, nepotisme itu warga langsung dianggap tanahnya menjadi milik tanah negara,” tambah Alldo.
Berikutnya, kata Alldo, ada juga undang-undang lain yang sudah mengatur tentang prosedur penggusuran. “Jadi, undang-undang ini tahun 1960 sudah tidak relevan, undang-undang lainnya itu tahun 2002, 2007, 2012. Bahkan sudah ada kovenan internasionalnya tentang hak ekonomi sosial budaya yang mengatur tentang prosedur penggusuran. Karena undang-undang yang kita mohonkan dilahirkan di zaman Indonesia masih dalam keadaan bahaya, maka ini sudah tidak relevan lagi untuk digunakan menggusur warga negara sendiri. Terima kasih Yang Mulia,” tandas Alldo.
Pemohon adalah Rojiyanto atau Pemohon I, Mansur Daud P. atau Pemohon II, dan Rando Tanadi atau Pemohon III. Para Pemohon adalah korban penggusuran paksa yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemohon I merupakan korban penggusuran paksa di daerah Papanggo, Jakarta Utara, yang dalam proses penggusuran terjadi kekerasan. Terhadap penggusuran tersebut Pemohon mengajukan gugatan ke Pengadilan hingga pada tingkat kasasi namun Pemohon tetap kalah karena dalam putusannya disebutkan bahwa Perpu 51/1960 tidak mewajibkan pemerintah memberikan ganti rugi kepada warga korban penggusuran paksa.
Sementara itu, Pemohon II merupakan korban penggusuran paksa di kawasan Duri Kepa, Jakarta Barat. Pemohon diberikan surat peringatan dari pemerintah daerah yang ditujukan atas nama Asun, dkk, namun sepengetahuan Pemohon di daerah tersebut tidak ada yang bernama Asun. Kemudian, Pemohon III adalah seorang pelajar dan akibat dari penggusuran ini Pemohon terpaksa putus sekolah dan tidak memiliki lagi tempat tinggal.
Para Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 2, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Perpu 51/1960. Ketentuan-ketentuan tersebut mengatur tentang kewenangan penguasa daerah yang dapat memaksa pengguna lahan untuk mengosongkan lahannya. Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut hanya dapat diterapkan pada negara dalam keadaan bahaya, bukan dalam situasi damai untuk melakukan penggusuran paksa terhadap warga negara. Pemohon juga menilai bahwa pasal-pasal tersebut membuka peluang keterlibatan angkatan perang di dalam penggusuran paksa yang dilaksanakan oleh pemda. Proses penggusuran tersebut juga kerap disertai tindakan intimidasi dan kekerasan terhadap warga negara yang menjadi korban penggusuran paksa, dan mengabaikan prosedur relokasi warga negara yang berlandaskan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Selain itu, kepemilikan tanah oleh para Pemohon sebagai warga negara yang sudah mendayagunakan tanah tersebut dalam jangka waktu lama juga dilindungi oleh beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menyatakan bahwa penelantaran tanah dapat mengakibatkan pada hapusnya kepemilikan ketentuan. Di dalam kasus-kasus penggusuran paksa, termasuk yang dialami oleh para Pemohon, pemerintah sebagai pelaku penggusuran paksa juga tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikannya yang sejalan dengan asas publisitas hukum agrarian.
Lebih lanjut, para Pemohon menilai bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Perppu 51/1960 menerapkan sanksi pidana terhadap para Pemohon sebagai warga negara yang menjustifikasi kesewenang-wenangan pemerintah untuk merampas tanah warga tanpa perlu melalui proses pembuktian yang adil terlebih dahulu.
(Nano Tresna Arfana/lul)