Sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan) kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi, Kamis (10/11) di Ruang Sidang MK. Ira Hartini Natapradja Hamel yang merupakan ibu dari Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) 2016 Gloria Natapradja tercatat sebagai pemohon perkara dengan nomor 80/PUU-XIV/2016.
Dalam sidang keempat tersebut, Pemohon menghadirkan beberapa orang saksi yang mengalami kondisi yang hampir serupa dengan anak pemohon, yakni kehilangan kewarganegaraan Indonesia akibat terlambat mendaftar dalam batas waktu 4 tahun. Salah seorang saksi yang hadir dalam sidang tersebut adalah Andra Widyana, wanita Indonesia asal Bali yang menikahi Warga Negara Inggris dan memiliki anak berusia 14 tahun. Dalam kesaksiannya Andra mengungkapkan bahwa ia mendaftarkan anaknya sebagai anak ibu karena pernikahan yang ia lakukan merupakan nikah siri. Ia telah berusaha mengurus kewarganegaraan kedua anaknya ke imigrasi, namun akhirnya pihak Imigrasi memutuskan kedua anaknya merupakan Warga Negara Inggris. Padahal, ia menginginkan kedua anaknya memegang kewarganegaraan ganda terbatas. Ia pun menempuh langkah pengadilan yang akhirnya bermuara pada pendaftaran ke Kemenkumham. Nemun di Kemkumham, pendaftaran kedua anak saksi tidak diterima karena telah melampaui batas waktu 4 tahun.
“Saat mau mendaftar anak ke Kumham, ternyata proses pendaftaran bagi anak yang lahir sebelum undang-undang berlaku sudah selesai, saya sudah tidak diperbolehkan lagi untuk mendaftarkan mereka karena batas waktu sudah lewat. Hal itu tercantum di undang-undang dan petugas harus melaksanakannya. Akhirnya anak saya pun menjadi warga negara asing murni dan saya harus mensponsori izin tinggal terbatasnya,” jelas Andra di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati tersebut.
Apabila frasa harus mendaftar dalam kurun waktu 4 tahun yang diatur dalam Pasal 41 UU Kewarganegaraan tidak ada, Andra merasa perjuangannya membereskan dokumen anak-anaknya dapat membuahkan hasil, yakni terpenuhinya hak konstitusional mereka.
Hal serupa diungkapkan oleh saksi lainnya, Yuliana yang menikahi Warga Negara Australia. Ia menjadi sponsor untuk anaknya yang berusia 14 tahun karena anaknya menggunakan visa izin tinggal sementara atau ITAS. Setelah satu tahun berjalan sebelum masa ITAS berakhir, ia mendengar anak-anak hasil perkawinan campuran berhak mendapat dwikewarganegaraan. Ia bermaksud untuk mendaftarkan dan berupaya agar anaknya bisa tinggal di Indonesia sebagai anak berkewarganegaraan ganda terbatas dengan aman dan tenteram.
“Pada Bulan Oktober 2014, saya mendatangi kantor imigrasi di Denpasar untuk mengurus keperluan itu dan membawa dokumen-dokumen pendukung, seperti paspor, akta kelahiran, KTP saya, dan juga kartu keluarga. Namun, betapa terkejutnya saya, ketiga petugas memberitahukan bahwa permohonan itu sudah tertutup di Tahun 2010. Dan proses pengajuan tidak bisa diajukan di kantor imigrasi, melainkan di kantor Kementerian Hukum dan HAM dengan melampirkan SK dari Kumham. Dan ini hanya memberikan selama 4 tahun sejak 2006. Pada saat itu, anak saya berusia 12 tahun. Ini sangat jelas mengecewakan saya,” tuturnya.
Dalam permohonannya, pemohon mendalilkan telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 41 UU Kewarganegaraan. Pasal tersebut menyatakan “Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan”.
Pemohon menilai anak Pemohon yang merupakan hasil perkawinan campuran mendapat diskriminasi akibat berlakunya ketentuan tersebut. Gloria—anak pemohon—yang baru berusia 16 tahun belum memenuhi usia 18 (delapan belas) tahun secara administrasi untuk dapat memilih kewarganegaraan antara warga negara Indonesia mengikuti kewarganegaran Pemohon selaku ibu kandungnya atau memilih sebagai warga negara Perancis mengikuti kewarganegaraan ayah kandungnya, seperti yang berlaku untuk anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang lahir setelah UU Kewarganegaraan. Menurut Pemohon, Pasal 41 UU Kewarganegaraan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan (4) UUD 1945 karena dengan kewajiban untuk mendaftarkan diri bagi anak yang belum berusia delapan belas tahun hasil perkawinan campuran dari warga negara Indonesia dan warga negara asing yang ditakdirkan lahir dan besar di Indonesia pada kenyataanya dibebankan kepada keluarga Pemohon yang harus secara aktif mendaftarkan ke Pejabat yang berwenang.
Padahal, menurut Pemohon, bunyi Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 justru melimpahkan kewajiban dalam penyelengaraan hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil bagi setiap orang, termasuk hak atas status kewarganegaraan yang disebut dalam Pasal 28D ayat (4) UUD 1945 kepada negara. Pasal 41 UU Kewarganegaraan menimbulkan kerumitan administrasi pada Pemohon yang bertentangan dengan ketentuan konstitusional yang seharusnya negara menunaikan kewajiban untuk memberi kemudahan kepada setiap orang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945. (Lulu Anjarsari/lul)