Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (10/11). Para Pemohon yang hadir antara lain adalah Pagar Demanra Sirait, Patti Atulo Lazira, serta Assar Nur Fajar Alam, seluruh Pemohon merupakan penganut kepercayaan.
Pemohon menguji Pasal 61 ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU Administrasi Kependudukan. Pasal 61 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan menyebutkan, “Kartu Keluarga memuat keterangan mengenai kolom nomor Kartu Keluarga, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orangtua.”
Sedangkan Pasal 61 ayat (2) UU a quo berbunyi, “Bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.”
Menurut Pemohon, Pasal 61 ayat (1) dan (2), Pasal 64 ayat (1) dan (5) UU Administrasi Kependudukan bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas kesamaan warga negara di hadapan hukum. Dalam rumusannya, tertulis bahwa KK dan KTP elektronik memuat elemen keterangan agama di dalamnya, namun khusus bagi penganut kepercayaan kolom agama tersebut dikosongkan sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Pasal-pasal a quo tidak mengatur secara jelas dan logis sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dan melanggar hak-hak dasar yang dimiliki warga negara. Ketentuan pengosongan kolom agama bagi penganut kepercayaan telah menyebabkan terlanggarnya hak-hak dasar dari Pemohon seperti pernikahan Pemohon secara adat tidak diakui negara sehingga tidak memiliki akta pernikahan dan KK hingga akhirnya anak-anak dari Pemohon sulit mendapatkan akta kelahiran,” kata salah seorang kuasa hukum Pemohon Fatiatulo Lazira memaparkan permohonan teregistrasi Nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut.
Pengosongan kolom agama pada KTP elektronik bagi penganut kepercayaan, menurut Pemohon, mengakibatkan Pemohon sebagai warga negara tidak bisa mengakses dan mendapatkan hak-hak dasar lainnya seperti hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas kesehatan, hak atas jaminan sosial beserta dengan seluruh layanannya, sehingga hal ini jelas melanggar hak asasi manusia. Sedangkan hak-hak dasar tersebut diatur dan dijamin dalam UUD 1945.
Pemohon menilai Pasal 61 ayat (1) dan (2), Pasal 64 ayat (1) dan (5) UU Administrasi Kependudukan telah membuat pengucilan bagi para Pemohon dengan tidak diisinya kolom agama di KK dan KTP elektronik. Hal tersebut merupakan diskriminasi bagi Pemohon yang berdampak pada pelanggaran hak konstitusional, sehingga pasal-pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Terhadap dalil-dalil yang disampaikan, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyarankan Pemohon agar lebih memperjelas kerugian konstitusionalnya.
“Nah, ini apakah karena norma di dalam pasal yang diujikan atau dalam pelaksanaannya? Itu harus tegas. Kalau dalam pelaksanaannya apakah sejak dulu begitu kejadiannya? Atau ada kejadian-kejadian tertentu saja? Apakah sejak dulu kejadiannya, misalnya seperti pengalaman seperti ini. Apakah karena ada bunyi pasal ini? Itu penting. Kenapa? Karena apa yang dimohonkan dalam petitum, yang akan dinyatakan bertentangan dan tidak mengikat. Kalau ini dihapuskan lalu bagaimana? Ini hal-hal seperti itu oleh Pemohon supaya diperhatikan, supaya relevan antara uraian mengenai kerugian konstitusionalnya dengan petitum-nya,” tegas Wahiduddin.
Sementara itu Hakim Konstitusi Suhartoyo selaku Ketua Panel lebih menyoroti pada formalitas permohonan. “Ada beberapa kuasa yang tidak menandatangani surat kuasa dan juga tidak menandatangani permohonan. Seharusnya ini menjadi perhatian Saudara karena kalau pada hari ini Mahkamah akan memberlakukan Hukum Acara secara konsekuen. Paling tidak, ini menjadi koreksi bagi Saudara Pemohon,” ujar Suhartoyo.
(ars/lul)