Sidang pemeriksaan pendahuluan uji materi Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (14/11). Pemohon diwakili oleh kuasa hukumnya Hendrayana, menguji Pasal 4 huruf g, Pasal 14 dan Pasal 16 ayat (1) UU BPJS.
Dalam sidang tersebut, Hendrayana menegaskan kedudukan hukum Bupati Gowa Adnan Purichta Ichsan selaku Pemohon Perkara No. 101/ PUU-XIV/2016. Menurutnya, Pemohon sebagai bupati telah mendapat amanat konstitusional untuk melaksanakan penanganan bidang kesehatan, masalah sosial dalam wilayah kabupaten/kota, serta penyelenggaraan layanan dasar lainnya dalam wilayah Kabupaten Gowa dalam rangka pelaksanaan asas otonomi dan tugas pembantuan yang seharusnya dapat ditetapkan dengan peraturan daerah.
“Ternyata hal tersebut telah diabaikan oleh ketentuan Pasal 4 huruf g, Pasal 14, dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011. Sehingga menimbulkan kerugian hak atau kewenangan konstitusional terhadap pelaksanaan urusan wajib yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dan tidak dapat dijalankan menurut prinsip otonomi yang seluas-luasnya sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi,” papar Hendrayana kepada Ketua Panel, Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Lebih lanjut, ketentuan pasal-pasal tersebut dinilai melanggar hak dan kewenangan Pemohon dalam melaksanakan fungsi pengaturan dan penganggaran yang terkait dengan penyelenggaraan jaminan sosial. Salah satunya, berupa pelayanan kesehatan gratis di daerah yang tidak dapat dijalankan secara optimal berdasarkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat Gowa.
Pasal 4 huruf g UU No. 24/2011 berbunyi, “BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip: …. g. kepesertaan bersifat wajib; Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 4 huruf g dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “prinsip kepesertaan bersifat wajib” adalah prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi Peserta Jaminan Sosial, yang dilaksanakan secara bertahap.” Sedangkan Pasal 14 UU No. 24/2011 menyebutkan, “Setiap orang termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi peserta program jaminan sosial.
Kemudian Pasal 16 ayat (1) UU No. 24/2011 berbunyi, “(1) Setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja, dan penerima Bantuan Iuran, yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program jaminan sosial wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai peserta kepada BPJS, sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.”
Pemohon melanjutkan, pembebanan kewajiban membayar iuran sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3) UU BPJS merupakan pengaturan yang menutup ruang bagi Pemohon melaksanakan asas otonomi yang seluas-luasnya. Dengan sistem BPJS, Pemohon harus mengeluarkan dana yang lebih besar untuk membayar iuran bagi masyarakat Kabupaten Gowa yang tidak termasuk kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI), tetapi dapat dikategorikan sebagai masyarakat tidak/kurang mampu untuk membayar iuran BPJS. Sebelumnya, masyarakat tersebut memeroleh Pelayanan Kesehatan Gratis dari Pemerintah Daerah yang biayanya ditanggung oleh Pemerintah Kabupaten Gowa.
“Kewenangan Pemohon sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Kabupaten Gowa untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya sesuai dengan amanat konstitusi Pasal 18 ayat (1), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945, khususnya dalam pelaksanaan kebutuhan dasar atau kesehatan kepada penduduk Gowa seharusnya tetap bisa berlangsung dengan memberikan keleluasaan untuk mengelola dan melaksanakan pelayanan kesehatan gratis, sebagaimana telah diatur dan dilaksanakan oleh Pemohon sejak tahun 2009 berdasarkan Perda Kabupaten Gowa Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pelayanan Kesehatan Gratis,” ucap Hendrayana.
Nasihat Hakim
Terhadap dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mengomentari kedudukan hukum Pemohon yang bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Kabupaten Gowa. “Kalau kita melihat di sini, pemerintah daerah ini dalam undang-undang ini tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan gratis oleh pemerintah daerah. Permasalahannya adalah kalau tidak bisa melaksanakan pelayanan gratis itu, itu kerugiannya pada pemerintah daerah atau pada orangnya. Jadi itu memberatkan pemerintah daerahnya atau malah warganya di sana? Nah, itu mesti dipikirkan kembali,” imbuh Maria.
Sedangkan Hakim Konstitusi Aswanto menyarankan Pemohon agar menambahkan uraian potensi kerugian konstitusional Pemohon kalau norma itu kemudian dibatalkan. “Hal itu belum tergambar di dalam uraian Saudara. Bahwa Saudara sudah mengurai potensi-potensi kerugian tapi kemudian perlu juga Saudara menguraikan bahwa kalau norma itu kemudian dinyatakan tidak mengikat oleh Mahkamah,” saran Aswanto.
(Nano Tresna Arfana/lul)