Penyamarataan semua tindak pidana sehingga membatasi seorang warga negara untuk menjadi kepala daerah seperti yang tercantum dalam UU Pilkada tidak menjamin kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sebab, pelaku tindak pidana kejahatan yang konsekuensi hukumnya lebih berat, disamakan dengan pelaku tindak pidana berupa pelanggaran yang konsekuensi hukumnya jauh lebih ringan. Demikian disampaikan guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada Eddy O.S Hiariej pada sidang perkara Nomor 71/PUU-XIV/2016, Selasa (15/11) di Ruang Sidang MK.
Hiariej yang dihadirkan oleh Rusli Habibie selaku pemohon menilai, adanya frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”, menunjukkan pasal a quo bersifat diskriminatif, karena menyamaratakan semua tindak pidana. Padahal secara doktrin, lanjutnya, masing-masing tindak pidana memiliki sifat dan karakter tersendiri. Demikian pula masing-masing tindak pidana, memiliki tingkat bahaya dan dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut berbeda-beda. “Ketentuan pasal-pasal a quo yang menyamaratakan semua tindak pidana, bertentangan dengan prinsip keadilan. Khususnya, jika dilihat dari gradasi suatu tindak pidana yang dilakukan,” tegas Hiariej.
Ia menuturkan hukum pidana modern yang lebih menjamin kepastian hukum, kesederajatan di hadapan hukum dan hak asasi manusia sudah berorientasi pada keadilan korektif, rehabilitatif, dan restoratif. Sedangkan terkait ketentuan pasal-pasal yang diujikan, khususnya berkaitan dengan status terdakwa atau terpidana tanpa ada perbedaan jenis tindak pidana yang dijatuhkan, bersifat diskriminatif karena menyamaratakan semua terdakwa dan terpidana. Ia mencontohkan seorang terpidana yang dijatuhkan hukuman percobaan berarti pengadilan mengutamakan fungsi rehabilitatif dengan melihat jenis tindak pidana yang dilakukan, motivasi terpidana melakukan perbuatan, dan dampak yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut. “Hal ini tidak dapat disamaratakan dengan seorang terpidana yang dijatuhi hukuman penjara dan harus dijalaninya,” ujarnya.
Untuk itu, Hiariej menyimpulkan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf g, Pasal 163 ayat (7) dan ayat (8), serta Pasal 164 ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1).
“Kecuali dimaknai bahwa terhadap tindak pidana tersebut ada perbedaan mengenai ancaman pidana yang dicantumkan termasuk juga hukum pidana yang dijatuhkan terhadap kejahatan-kejahatan tertentu seperti korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan kejahatan-kejahatan lainnya yang diancam lima tahun penjara atau lebih,” tandasnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh guru besar hukum pidana Universitas Islam Indonesia Mudzakir. Di hadapan Majelis Hakim Konstitusi, Mudzakir menyatakan sependapat dengan permohonan dari Pemohon yang intinya dikatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf g dikatakan, “Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak pernah sebagai terpidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara minimum lima tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”.
Menurut Mudzakir, perlu adanya konsistensi dari norma yang sebelumnya, yakni bagi mantan terpidana telah lima tahun selesai menjalani pidana penjara harus jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Ia menekankan dalam menetapkan norma hukum memuat syarat menduduki jabatan kepala daerah wajib mempertimbangkan hak-hak konstitusional warga. Menurutnya, syarat tidak pernah dipidana tidak sesuai dengan undang-undang lain. Pencabutan hak dalam hukum administrasi harus memperhatikan norma dalam hukum pidana dan hak konstitusional warga dan tidak bersifat permanen.
“Dalam menentukan syarat calon kepala daerah harus tetap mempertimbangkan hasil pengujian norma hukum yang telah dimohonkan uji materiil dalam putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya,” tandasnya.
Pada sidang sebelumnya, Pemohon yang merupakan Gubernur Gorontalo pada awal bulan Agustus 2016 mendapat putusan kasasi dengan pidana 1 (satu) tahun penjara dengan masa percobaan 2 (dua) tahun atas tuduhan melakukan penghinaan dan melanggar Pasal 317 ayat (1) KUHP. Pemohon menyoal Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang mengatur mengenai calon kepala daerah yang berstatus terpidana. Dalam permohonannya, Pemohon menilai bahwa ketentuan a quo telah melanggar hak konstitusional Pemohon karena dinilaimenghalangi Pemohon untuk maju kembali dalam pemilihan kepala daerah. Frasa ”….karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan penjara 5 (lima) tahun atau lebih” yang semula terdapat dalam Pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 2015 menjadi dihapus dan diganti dengan ketentuan baru sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016.
Dengan demikian, menurut Pemohon, Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10 Tahun 2016 telah memperluas cakupan tindak pidana, yang semula dibatasi hanya terhadap perbuatan pidana yang diancam dengan penjara 5 (lima) tahun atau lebih, diubah menjadi seluruh tindak pidana, sekalipun ancaman penjaranya hanya percobaan. Pemohon beralasan, pemberlakuan ketentuan yang berbeda dari pemilukada serentak 2015 ke Pemilukada Serentak Tahun 2017 ini selain bertentangan dengan prinsip negara hukum juga melanggar hak persamaan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.
(Lulu Anjarsari/lul)