Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), Rabu (9/11). Agenda sidang perkara Nomor 92/PUU-XIV/2016 adalah mendengar keterangan Pemerintah.
Perwakilan Pemerintah, Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Widodo Sigit Pujianto menyebut definisi kata “mandiri” tidak berarti KPU dapat melakukan segalanya sendiri tanpa melibatkan unsur pemerintahan lainnya. Sebab, menurut Pemerintah, dinamika penyelenggaraan pemerintahan tidak hanya dari aspek pemilihan umum saja. Penyelenggaraan pemilihan umum, imbuhnya, wajib memperhatikan dan menyesuaikan dengan berbagai dinamika dari segala aspek kehidupan, proses, dan sinkronisasi.
“Inilah yang mewajibkan lembaga KPU untuk berkoordinasi dengan pemerintah dan DPR. Agar supaya dalam menyusun, menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis dalam setiap tahapan pemilu dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya serta harus sesuai dengan original inten atau materi muatan yang diatur dalam undang-undang a quo,” jelasnya.
Lebih lanjut, dirinya menyebut konsultasi dengan DPR dan pemerintah bukan suatu ancaman terhadap kemandirian KPU. Konsultasi dimaksud diperlukan dalam rangka keselarasan aturan antara undang-undang dengan pengaturan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum.
Sebelumnya, seluruh Komisioner KPU memohonkan uji materiil ketentuan Pasal 9 huruf a UU Pilkada yang mengharuskan KPU berkonsultasi pada DPR dan pemerintah dalam membuat Peraturan KPU.
Bagi Pemohon pasal tersebut mengancam kemandirian KPU. Keterlibatan DPR dinilai begitu sentral dan menentukan kewenangan KPU dalam menyusun dan menetapkan Peraturan KPU. Menurut Pemohon, seharusnya lembaga penyelenggara Pemilu tidak boleh tunduk pada arahan dari pihak lain, baik itu pihak berwenang maupun partai politik.
(ars/lul)