Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan uji materiil Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) dengan Nomor Perkara 52/PUU-XIV/2016 tidak dapat diterima.
“Amar putusan menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Arief Hidayat selaku Ketua Pleno mengucapkan amar putusan, Rabu (9/11).
Pasal 1 ayat (3), Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 30 huruf a, Pasal 51 ayat (1), Pasal 51 ayat (3) huruf b, Pasal 51A ayat (1), Pasal 51A ayat (2) huruf b, Pasal 56 ayat (3), Pasal 57 ayat (1) UU MK, dan Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Kekuasaan Kehakiman yang diujikan adalah berkenaan dengan kewenangan Mahkamah dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Apabila dalil Pemohon yang menyatakan bahwa pasal-pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak ditafsirkan termasuk pengujian undang-undang dan/atau pengujian pengaduan konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah menilai justru tidak ada kepastian hak konstitusional Pemohon. Sebab jika demikian, menjadi tidak jelas apa yang menjadi kewenangan Mahkamah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU MK.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, tidak terdapat pertentangan Pasal 1 ayat (3), Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 30 huruf a, Pasal 51 ayat (1), Pasal 51 ayat (3) huruf b, Pasal 51A ayat (1), Pasal 51A ayat (2) huruf b, Pasal 56 ayat (3), Pasal 57 ayat (1) UU MK, dan Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Kekuasaan Kehakiman terhadap UUD 1945.
Tidak Dirugikan
Menurut Mahkamah, yang dialami Pemohon bukan kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. “Menimbang bahwa oleh karena apa yang didalilkan oleh Pemohon bukanlah merupakan kerugian konstitusional maka Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo dan pokok permohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut,” demikian disampaikan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna saat membacakan pendapat Mahkamah.
Pemohon adalah Sri Royani, seorang sarjana sastra warga negara Indonesia. Dalam permohonannya Pemohon meminta MK untuk juga memeriksa perkara constitutional complaint selain perkara pengujian undang-undang. Hal tersebut diminta Pemohon setelah sebelumnya Pemohon merasa dirugikan atas kelalaian penegak hukum dalam menangani kasus penipuan dan pengelapan yang Pemohon laporkan ke kepolisian. Menurut Pemohon, dalam menangani kasusnya, pihak kepolisian telah salah menerapkan norma undang-undang yang pada akhirnya merugikan hak konstitusional Pemohon.
Mulanya Pemohon membeli tanah pada seseorang bernama Yani seharga Rp.800 juta. Kemudian ia mengetahui tanah yang sama, dijual Yani pada tiga orang lainnya. Selanjutnya Pemohon melaporkan kasus penipuan dan penggelapan yang dialami oleh dirinya ke Polda Jawa Barat. Namun kemudian penyidik menilai kasus ini adalah kasus perdata bukan kasus pidana, pendapat tersebut didasari fakta adanya akta pembatalan jual beli yang dibuat dihadapan notaris, yang kemudian akta tersebut diduga palsu.
Sebagai salah satu upaya lanjutan dari kasus yang dilaporkannya, Sri berharap MK dapat memiliki kewenangan constitutional complaint seperti negara-negara lain. Ia yakin dengan adanya kewenangan constitutional complaint, MK dapat memberikan perlindungan yang maksimal terhadap hak-hak dasar warga negara.
(Nano Tresna Arfana/lul)