Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perkara No. 21/PUU-V/2007 tentang pengujian UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) terhadap UUD 1945, Rabu (5/9), di ruang sidang panel MK dengan agenda Pemeriksaan Perbaikan Permohonan.
Permohonan yang awalnya diajukan oleh sebelas lembaga, kini menjadi sepuluh lembaga, antara lain, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Federasi Serikat Buruh Jabotabek (FSBJ), Aliansi Petani Indonesia (API), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (YBDS), Perserikatan Solidaritas Perempuan (PSP), Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Suara Hak Asasi Manusia Indonesia (SHMI), dan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK).
Dalam penjelasan permohonannya, para Pemohon yang diwakili oleh Kuasa Hukumnya Ecoline Situmorang, S.H. dkk. menyatakan bahwa melalui UU PM ini, beragam kemewahan disediakan demi mengundang investasi, mulai dari kemudahan pelbagai bentuk pajak, pemberian ijin Hak Guna Usaha selama 95 tahun sekaligus, bebas memindahkan modalnya kapan dan di manapun, hingga bebas dari masalah nasionalisasi. Sementara, biaya eksternalitas penanaman modal selama ini, di antaranya ribuan konflik lahan, pelanggaran HAM, perusakan lingkungan dan pemiskinan yang selama ini terjadi, tidak sedikitpun menjadi rujukan penyusunan UU PM oleh Pemerintah dan DPR RI.
Dalam UU PM ini, lanjut Pemohon, investasi sebagai penopang pembangunan yang dimaknai sebagai proses ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi semata, mengandung banyak kelemahan karena mengabaikan keadilan distribusi pendapatan sehingga memperlebar jurang kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Di sisi lain, masyarakat Indonesia masih mayoritas miskin dan tidak mampu mengakses sumber daya alam, kesehatan, pendidikan, serta pelayanan publik lainnya. Hal-hal inilah, yang menurut para Pemohon melanggar konstitusi dan mengkhianati cita-cita pembangunan ekonomi nasional yang bersandar pada nilai-nilai kerakyatan atau ekonomi Pancasila.
Terhadap permohonan ini, Majelis Panel Hakim mengkoreksi petitum para Pemohon yang meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 3 huruf d, Pasal 4 huruf a, Pasal 8, Pasal 18 angka (4) dan Pasal 22 UU PM bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A dan Pasal 28C UUD 1945, serta menyatakan pasal-pasal yang dimohonkan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam koreksi tersebut, diketahui berbagai kesalahan fatal dan fundamental yang dilakukan oleh para Pemohon, beberapa di antaranya, Pasal 3 huruf d ternyata yang dimaksud adalah Pasal 3 ayat (1) huruf d, Pasal 4 huruf a seharusnya Pasal 4 ayat (1) huruf a. Permohonan anda (para Pemohon) ini obscuur (tidak jelas red.), jelas Hakim Anggota I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H.
Untuk itu, Palguna memberi dua opsi bagi para Pemohon yaitu melakukan renvooi (perbaikan di tempat red.) karena sudah habis masa perbaikan permohonan atau menarik permohonan. Bila anda ingin melakukan perbaikan, lakukan sekarang dengan menyebutkan secara jelas apa yang anda mintakan. Tapi bila tidak bisa, anda bisa menarik permohonan ini, tegas Palguna
Terhadap ketidakjelasan permohonan para Pemohon, Ketua Panel Hakim Dr. H. Harjono, S.H., MCL. memberi kesempatan para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya hingga berakhirnya jam kerja MK di hari itu. (Wiwik Budi Wasito)