Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materiil Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan). Putusan Perkara Nomor 50/PUU-XIII/2015 tersebut diucapkan Rabu (9/11).
“Amar putusan menyatakan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Arief Hidayat didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Adapun norma yang diujikan, yakni Pasal 69 ayat (2) huruf a UU Kepailitan menyatakan,
“Dalam melaksanakan tugasnya, Kurator:
- a. tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada Debitor atau salah satu organ Debitor, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan;”
Mempertimbangkan keterangan dari Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) dan Himpunan Kurator dan Pengurus Indonesia (HKPI) yang menyatakan tidak mungkin dalam suatu kepailitan, kurator dalam setiap tindakannya harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari debitor Pailit, Mahkamah berpendapat bahwa debitor pailit tidak lagi memiliki kewenangan untuk menguasai dan mengurus hartanya. Konsekuensinya, dalam menjalankan tugasnya, kurator tidak harus mendapatkan persetujuan dari debitor pailit atau memberitahukan tindakannya kepada debitor pailit.
Terhadap dugaan tindakan sewenang-wenang dan tidak profesional kurator dalam melaksanakan tugasnya sebagai kurator, menurut Mahkamah, Pemohon dapat meminta pertanggungjawaban kurator yang bersangkutan dengan cara mengajukan keberatan ke hakim pengawas atas tindakan kurator. Pemohon juga bisa melaporkan kurator ke dewan kehormatan organisasi asal kurator untuk diperiksa atas dugaan pelanggaran kode etik. Semua hal tersebut diatur secara tegas dalam UU Kepailitan maupun Kode Etik Kurator.
Mahkamah menyampaikan, kurator yang dipermasalahkan kinerjanya oleh Pemohon adalah kurator yang tergabung dalam HKPI. Oleh sebab itu HKPI menyatakan sudah menyiapkan Dewan Kehormatan Kode Etik yang akan mengkaji dan memeriksa pengaduan Pemohon tersebut. Bila terbukti, akan ada sanksi secara organisasi.
Dengan demikian, berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, frasa “tidak diharuskan”, kata “atau”, kata “Debitor”, dan frasa “salah satu organ Debitor” dalam Pasal 69 ayat (2) huruf a UU Kepailitan tidak bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945.
“Menimbang, berdasarkan pada pertimbangan hukum dan fakta hukum yang diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon dalam perkara a quo tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum,” ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Tato Suwarto, Direktur Utama PT Batamas Jala Nusantara merasa dirugikan oleh tindakan kurator ketika perusahaannya dinyatakan pailit. Menurutnya, dalam pemberesan boedel pailit seharusnya kurator tak bisa bertindak sewenang-wenang. Bahkan dalam setiap tindakan pengurusan harta pailit itu sang kurator seharusnya minta persetujuan lebih dahulu dari pemilik aset alias debitor. Karena itu, ia mempersoalkan Pasal 69 ayat (2) huruf a UU Kepailitan. Ketentuan tersebut dinilai tidak memberi batasan tegas terhadap tugas dan kewenangan kurator lantaran kurator tidak diwajibkan memperoleh persetujuan dari debitor pailit dalam pemberesan harta pailit. (Nano Tresna Arfana)