Permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ditolak untuk seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Amar putusan, menolak permohonan untuk seluruhnya,” demikian dibacakan Ketua MK Arief Hidayat selaku Ketua Pleno dalam sidang pengucapan putusan Perkara No. 78/PUU-XIII/2015, Rabu (9/11).
Mahkamah berpendapat, Pasal 33 ayat (1) UU Parpol yang diujikan Pemohon bukan norma yang berdiri secara otonom. Pasal tersebut mengacu pada Pasal 32 UU Parpol. Untuk memahami Pasal 33 ayat (1) UU Parpol harus didahului dengan memahami makna yang terdapat dalam Pasal 32 UU Parpol.
Pasal 32 UU Parpol menyatakan:
“(1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART.
(2) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik.
(3) Susunan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan Partai Politik kepada Kementerian.
(4) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari.
(5) Putusan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan.”
Adapun Pasal 33 (1) menyatakan,
“Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri.”
“Mahkamah menilai, keberadaan Pasal 33 ayat (1) UU Parpol sangat penting mengingat pasal tersebut secara jelas tidak termasuk perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan. Putusan terhadap perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan bersifat final dan mengikat. Tampak dalam hal ini tidak terdapat pertentangan antara suatu norma. Walaupun tidak terdapat pertentangan terhadap norma, terdapat penafsiran lain yang perlu mendapatkan penekanan secara tekstual,” urai Hakim Konstitusi Aswanto membacakan pertimbangan hukum.
Menurut Mahkamah, Pasal 33 ayat (1) UU Parpol secara jelas dipahami tidak termasuk perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan partai. Tidak ada upaya apa pun yang dapat ditempuh terhadap putusan perselisihan kepengurusan partai. “Jadi pasal tersebut secara normatif tidak mengakibatkan hilangnya esensi kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D UUD 1945,” imbuh Aswanto.
Selanjutnya terkait frasa “badan peradilan” dalam Pasal 2 angka 5 UU PTUN, menurut Mahkamah, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang menerima dan mengabulkan gugatan atas keputusan Menteri Hukum dan HAM dilakukan dalam upaya administrasi yang melekat pada Kementerian Hukum dan HAM. Apabila terjadi suatu sengketa kepengurusan, maka pengesahan yang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM harus berdasarkan Putusan Mahkamah Partai Politik. Hal tersebut berarti Menteri Hukum dan HAM hanya bersifat deklaratif semata, sehingga sifatnya hanya administratif dan tidak menimbulkan akibat hukum baru. Apabila ternyata Menkumham sebagai pejabat negara yang ditugaskan oleh undang-undang untuk mencatat dan mendaftarkan kepengurusan partai politik tidak melaksanakan putusan Mahkamah Partai Politik, bahkan bertolak belakang dengan putusan Mahkamah Partai Politik, maka secara administratif putusan Menkumham tersebut dapat diajukan pengujian dan diminta pembatalan ke PTUN.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa seluruh pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tegas Aswanto.
Sebelumnya, Gusti Iskandar dkk. Selaku Pemohon mendalilkan frasa “tidak tercapai” dalam Pasal 33 ayat (1) UU Parpol menimbulkan ambiguitas dan multitafsir. Dalam suatu mekanisme penyelesaian perselisihan, frasa “tidak tercapai” biasanya digunakan untuk menunjuk adanya mekanisme musyawarah demi mencapai mufakat di dalam pemeriksaan Mahkamah Partai Politik. Selain itu apabila musyawarah tidak tercapai mufakat atau tidak tercapai kesepakatan, maka Mahkamah Partai Politik tetap harus menyelesaikan perselisihan tersebut.
Para Pemohon mendalilkan Pasal 33 ayat (1) tersebut harus dimaknai putusan Mahkamah terhadap partai politik, selain berkenaan dengan kepengurusan bersifat tidak final dan tidak mengikat dan dapat diajukan ke pengadilan negeri. Putusan yang tidak final dan tidak mengikat yang dapat diajukan ke pengadilan negeri antara lain karena pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik; pemecatan tanpa alasan yang jelas; penyalahgunaan kewenangan; pertanggungjawaban keuangan; dan/atau; keberatan terhadap keputusan partai politik. (Nano Tresna Arfana/lul)