Gabungan profesi praktisi hukum konstitusi, dosen hukum, dan guru bahasa Indonesia menguji norma Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Diwakili Achmad Saifuddin Firdaus, Victor Santoso Tandiasa merasa hak konstitusionalnya terlanggar lantaran banyak orang-orang yang terhambat melanjutkan jenjang pendidikannya karena bahasa asing. “Hanya karena syarat yang mewajibkan peserta didik untuk mencapai TOEFL, ESP, EAP dan lain-lain untuk dapat diterima dan atau untuk dapat maju dalam sidang sebagai syarat untuk dapat lulus. Sementara dalam norma a quo tidak mengatur secara tegas terkait tentang kedudukan dan peran bahasa Indonesia dalam sistem pendidikan Indonesia,” ujarnya, Senin (7/11) di ruang sidang MK.
Dikatakan Saifuddin, dalam pelaksanaannya bahasa asing bukan hanya sekadar menjadi bahasa pengantar tetapi menjadi syarat diterimanya dan syarat kelulusan di berbagai perguruan tinggi sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam implementasinya. “Oleh karena itu pasal a quo tersebut menimbulkan kerugian konstitusional Pemohon I. Sehingga apabila dikabulkan oleh Mahkamah tidak terjadi potensi kerugian konstitusional di kemudian hari,” ungkap Ahmad kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Pemohon lainnya Rasminto dan Dhisky yang berprofesi sebagai dosen hukum dan guru bahasa Indonesia pun menilai pemuda Indonesia cenderung tidak percaya diri dalam pergaulan dalam negeri saat tidak bisa aktif menggunakan bahasa asing atau bahasa Inggris. Artinya, kebanggaan terhadap bahasa Indonesia sudah terdistorsi oleh bahasa Inggris di negaranya sendiri. Apalagi, menurutnya, hampir seluruh perguruan tinggi mensyaratkan bahasa asing atau bahasa Inggris sebagai syarat yang mutlak bagi peserta didik untuk diterima dan lulus di perguruan tinggi yang dituju.
“Padahal bahasa asing merupakan hanya sebagai penunjang saja. Hal ini tentu membingungkan bagi Pemohon yang menggeluti bidang ilmu pengetahuan bahasa Indonesia. Selain itu Pemohon juga sulit menjelaskan kepada peserta didik mengenai mana yang lebih menjadi prioritas antara Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris,” imbuhnya.
Dijelaskan Saifuddin, mayoritas perguruan tinggi sibuk meningkatkan peringkat perguruan tingginya dalam tingkat internasional. Salah satunya dengan menjadikan bahasa asing menjadi syarat yang harus dikuasai oleh peserta didik. Padahal untuk dapat menyelesaikan proses pendidikan di perguruan tinggi, peserta didik diwajibkan untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk karya tulis ilmiah yang memerlukan kemampuan penulisan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. “Pendidikan perguruan tinggi di Indonesia haruslah pendidikan yang berkarakter dan tidak boleh lepas dari sejarah dan budaya Bangsa Indonesia. Sesuai dengan Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,” tegasnya.
Pasal 37 ayat (3) UU No. 12/2012 yang menyebutkan, “Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di Perguruan Tinggi.” Sedangkan Pasal 33 ayat (3) UU No. 20/2003 berbunyi, “Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.” Sementara Pasal 29 ayat (2) UU No. 24/2009 menyebutkan, “Bahasa pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan bahasa asing untuk tujuan yang mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.”
Terhadap dalil-dalil yang disampaikan para Pemohon No. 98/PUU-XIV/2016, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menilai permohonan Pemohon merupakan persoalan implementasi, bukan persoalan norma. “Saudara membangun konstruksi seolah-olah ini ada persoalan norma undang-undang yang inkonstitusional. Padahal dari uraiannya yang kita lihat itu praktik di lapangan lah yang menyebabkan kemudian ada beberapa hak konsitusional Saudara tidak memberikan kepastian hukum, menghambat hak atas pendidikan dan seterusnya,” kata Palguna.
Senada, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati juga mempertanyakan permasalahan yang ada dalam permohonan Pemohon. “Permasalahannya adalah apakah betul bahwa norma yang Anda mohonkan itu bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Jadi, anda harus membuka argumen kenapa hal itu Anda anggap bertentangan dengan konstitusi. Kalau di peraturan di bawahnya, maka itu bukan kewenangan MK. Nah, jadi ini yang perlu Anda bangun kembali dan pada intinya kita tahu permasalahannya, tapi apakah pasal-pasal itu memang bertentangan dengan konstitusi atau tidak,” tandas Maria. (Nano Tresna Arfana/lul)