Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak) menguntungkan bagi perbaikan pertumbuhan ekonomi nasional. Hal tersebut diungkapkan oleh Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra sebagai Ahli Pemerintah dalam sidang uji materiil UU Pengampunan Pajak yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (8/11) di Ruang Sidang MK.
Pengampunan pajak, menurutnya, berdampak pada terbukanya lapangan pekerjaan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Sekalipun dalam sudut pandang penerimaan negara dinilai berkurang karena adanya pengampunan, namun untuk jangka panjang justru menguntungkan. “Lagipula jika tidak ada pengampunan, Pemerintah belum tentu memperoleh tambahan penerimaan dari sektor pajak, dari pihak-pihak yang selama ini memang belum atau tidak membayar pajak sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh undang-undang,” jelas Saldi dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Ia pun melanjutkan terdapat cita-cita jangka panjang yang hendak diwujudkan, yaitu mereformasi sistem perpajakan dengan memperluas basis data wajib pajak. Dengan menjalankan program tersebut, Pemerintah akan memiliki tambahan sumber pendapatan negara sektor pajak dari wajib pajak yang mengikuti program pengampunan pajak. Selain itu, pengesahan UU Pengampunan Pajak mempertemukan antara asas kepastian hukum dan asas kemanfaatan. Dengan adanya pengaturan dalam UU Pengampunan Pajak, wajib pajak yang selama ini bermasalah dalam pelaporan pajaknya, baik karena tidak tahu ataupun tidak sengaja tidak membayar pajak, mendapatkan kepastian. “Sementara di sisi lain, negara juga memperoleh manfaat dari kebijakan ini. Jadi, saya hendak mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 menurut pandangan saya, mempertemukan dua tujuan hukum, yaitu kemanfaatan dan kepastian hukum itu sendiri,” teangnya membantah dalil pemohon tentang ketidakjelasan hukum.
Kepatuhan Hukum
Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar yang menjadi Ahli Pemerintah lainnya pun menjelaskan tax amnesty harus diartikan untuk menarik pembayar pajak yang tidak jujur agar kembali ke kepatuhan hukum. Hal tersebut untuk melakukan pembayaran pajak secara lebih benar dan memiliki implikasi pada peningkatan penerimaan negara. “UU Pengampunan Pajak adalah bagian dari cita-cita besar negara dalam melakukan perbaikan sistem perpajakan dan menguatkan pendanaan bagi keperluan negara sebagai cita-cita yang lebih besar untuk membuat pembayar pajak menjadi lebih taat,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan UU Pengampunan Pajak merupakan bagian dari kebijakan politik terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang dalam hal membuat kebijakan publik yang berkaitan dengan perpajakan. Lebih lanjut, perlindungan hukum yang diberikan terhadap pelaksana UU Pengampunan Pajak tidak persifat absolut hanya dilindungi jika sudah melaksanakan dengan iktikad baik dan benar secara perundang-undangan secara baik, itikad yang baik, dan benar secara peraturan perundang-undangan. “Pada saat yang sama, perlindungan yang diperlukan sebagai pelaksana kebijakan agar dapat melaksanakan kebijakan negara yang telah dituangkan dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak,” tambahnya.
Para pemohon yang mengajukan permohonan terkait uji materiil UU Pengampunan Pajak ini di antaranya Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (Perkara 57/PUU-XIV/2016), Yayasan Satu Keadilan (perkara Nomor 58/PUU-XIV/2016), Leni Indrawati dkk (Perkara nomor 59/PUU-XIV/2016) serta Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) (Perkara Nomor 63/PUU-XIV/2016).
Para pemohon menilai ketentuan dalam UU Pengampunan Pajak telah melukai rasa keadilan dalam masyarakat karena bersifat diskriminatif dengan membedakan kedudukan warga negara sebagai warga negara pembayar pajak dan warga negara tidak membayar pajak. Selain itu, ketentuan tersebut juga dinilai memberikan hak khusus secara eksklusif kepada pihak yang tidak taat pajak, berupa pembebasan sanksi administrasi, proses pemeriksaan, dan sanksi pidana. Tak hanya itu, Pemohon juga menilai pengampunan untuk konteks perpajakan tidak sejalan dengan ketentuan konstitusi di mana lembaga pajak seharusnya bersifat memaksa. Namun dengan adanya ketentuan a quo sifat lembaga pajak berubah menjadi lentur bahkan menjadi negotiable. Hal inidinilaiPemohon juga sebagai ketidakadilan dan perlakuan diskriminatif yang nyata terhadap “para pengemplang pajak” dari kewajibannya membayar pajak. Alih-alih diberi sanksi justru “para pengemplang pajak” tersebut diampuni dan hanya membayar denda yang jumlahnya sama dengan warga lain. (Lulu Anjarsari/lul)