Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan 100 mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman (Unsoed), Selasa (8/11). Kunjungan mereka disambut Peneliti MK Irfan Nur Rahman di Ruang Delegasi Lantai 4 MK.
Mengawali paparaanya, Irfan menjelaskan empat kewenangan dan satu kewajiban yang dimiliki MK berdasar UUD 1945. Kewenangan MK, antara lain menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Adapun kewajiban MK adalah membuat putusan terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan presiden dan/atau wakil presiden.
Irfan menjelaskan lahirnya MK sebagai jawaban dari amanat reformasi, yaitu diperlukan adanya lembaga yang dapat melakukan judicial review (JR). “Sempat diusulkan kalau JR menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Namun urung diwujudkan karena citra MA yang tidak dipercaya publik dan sudah banyak memegang perkara,” katanya.
Lebih lanjut, Irfan menjelaskan lembaga sejenis MK memiliki nama dan model berbeda di tiap negara. Di Perancis, terdapat Dewan Konstitusi yang berwenang untuk melakukan review atas rancangan undang-undang sebelum disahkan menjadi undang-undang. Selain itu, model Amerika Serikat memberikan fungsi JR pada MA.
Tanya Jawab
Usai pemaparan, Irfan menggelar sesi tanya-jawab. Seorang mahasiswa, Endro, bertanya landasan hukum yang digunakan sehingga MK memutus hasil sadap tidak dapat dijadikan sebagai barang bukti.
Irfan menjawab pada hakikatnya MK tidak melarang penyadapan. Namun, mesti dalam ruang lingkup publik bukan privat. Hal tersebut dalam rangka melindungi hak asasi tiap individu. “Misal rekaman CCTV boleh. Tapi kalau diam-diam merekam jelas tak bisa,” tegasnya.
Pertanyaan berikutnya dari mahasiswi bernama Aulia. Ia menanyakan apakah Garis Besar Haluan Negara (GBHN) masih diperlukan Indonesia. Irfan menjelaskan ada dua pendapat. Pihak kontra memandang GBHN akan membuat MPR layaknya menjadi lembaga tertinggi negara lagi. “Padahal pasca amandemen sudah tak ada lagi lembaga tertinggi negara,” jelasnya.
Adapun pihak pro memandang GBHN sebagai pedoman dan arahan dalam bernegara. Sehingga tidak ada hubungan sama sekali dengan MPR akan menjelma layaknya lembaga tertinggi negara andai GBHN dihidupkan kembali.
(ars/lul)