Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan judicial review UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) terhadap UUD 1945, Selasa (4/9), dengan agenda Mendengarkan Keterangan Pemerintah, DPR, dan Ahli dari Pemohon.
Permohonan dengan perkara No. 16/PUU-V/2007 ini diajukan oleh 13 partai politik, antara lain, Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Pelopor (PP), Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD), Partai Serikat Indonesia (PSI), dan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB).
Bahwa dengan diberlakukannya ketentuan ambang batas (electoral threshold) dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu, para Pemohon dalam perkara ini merasa hak konstitusionalnya telah dirugikan karena tak bisa mengikuti Pemilu tahun 2009 mendatang, sebab dalam Pemilu tahun 2004 yang lalu, partai-partai ini memperoleh suara rata-rata kurang dari 3% dari jumlah kursi DPR. Para Pemohon, dalam permohonannya juga menjelaskan bahwa tujuan utama mereka mendirikan partai politik adalah agar dapat mengikuti pemilu seterusnya.
Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28G, dan Pasal 28I UUD 1945, serta menyatakan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pemerintah melalui keterangan yang dibacakan oleh Ramli Hutabarat, Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM RI, menyatakan bahwa UU Pemilu dilahirkan sebagai upaya penyederhanaan partai-partai. Penyederhanaan ini tidak serta-merta diartikan sebagai pembatasan yang diskriminatif karena tidak didasarkan pada unsur suku, agama, ras, agama, maupun bahasa sebagaimana tercantum dalam undang-undang HAM, ucap Ramli.
Senada dengan Pemerintah, kuasa hukum DPR RI, Nursyahbani Katjasungkana, mengatakan bahwa sepanjang sejarahnya, Indonesia sudah melaksanakan sistem multipartai. Namun sistem ini, lanjut Nursyahbani, tidak compatible dengan sistem negara presidensiil. Untuk itu upaya penyederhanaan partai secara bertahap perlu dilakukan melalui undang-undang ini, ujar Nursyahbani.
Sedangkan Pemohon prinsipal, Adi Masardi, mengatakan bahwa pada prinsipnya tak mungkin bagi partai-partai kecil ini untuk menggabungkan diri atau bergabung ke partai-partai besar karena memiliki platform yang berbeda. Adi mencontohkan, Partai Damai Sejahtera (PDS) yang mengusung nilai-nilai kristiani tentu tak mungkin bergabung dengan Partai Bulan Bintang (PBB) yang memperjuangkan nilai-nilai Piagam Jakarta.
Sementara itu, Ahli dari Pemohon, Indra J. Piliang menjelaskan bahwa selama ini tidak ada ketentuan electoral threshold di negara-negara lain. Yang ada, yang berlaku seperti di Jerman adalah parliamentary threshold yang maksudnya adalah membatasi kehadiran partai politik di parlemen tanpa menghilangkan hak-hak partai politik untuk mengikuti pemilu, kata pengamat sekaligus ahli ilmu politik ini.
Lanjut Indra, penyederhanaan sistem multipartai bisa ditempuh dengan cara lain seperti memakai sistem proporsional terbuka dalam pemilu atau memperkecil daerah pemilihan. Kita butuh partai politik yang bisa mengakar kuat di masyarakat. Adanya electoral threshold justru menghalangi hal tersebut, jelas Indra.
Menanggapi keterangan ahli di atas, Ramli Hutabarat tetap berpegang pada pendapatnya bahwa jalannya sistem demokrasi tidak bisa dipisahkan dari restriksi berupa peraturan perundang-undangan. Bila tak ada restriksi, maka kita justru akan terjebak dalam liberalisasi politik, ujar Ramli.
Sedangkan menanggapi pertanyaan Majelis Hakim Konstitusi perihal lebih bagus sistem electoral threshold atau parliamentary threshold, Indra J. Piliang menjawab bahwa kedua sistem itu tidak cocok diterapkan di Indonesia karena kehidupan politik di Indonesia sangat plural sebagaimana kondisi kehidupan sosial masyarakatnya, sehingga semua aspirasi politik baik yang mayoritas apalagi minoritas, sebisa mungkin ditampung oleh negara. Namun, meski dianggap kedua sistem di atas tidak baik, Indra tidak menjelaskan sistem pemilu seperti apa yang lebih baik bagi partai politik, selain kedua sistem tersebut. (Wiwik Budi Wasito)