Ketentuan yang melarang mantan narapidana untuk ikut serta dalam pemilihan kepada daerah seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) membatasi hak warga Negara dan melanggar HAM. Hal tersebut dinilai bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin setiap warga Negara berhak untuk dipilih. Demikian keterangan Indra Perwira, Kepala Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, yang dihadirkan oleh Pemohon dalam sidang uji materiil UU Pilkada yang digelar pada Rabu (2/11) di ruang sidang MK.
Indra menjelaskan setelah selesai menjalani hukuman, mantan narapidana sama dengan warga negara lainnya yang memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Ia menyebut negara tidak dapat menganggap mantan narapidana selamanya sebagai penjahat. “Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, yang melarang mantan narapidana atas kejahatan apapun untuk mengikuti pemilihan umum sama saja menganggap para mantan narapidana yang telah menyelesaikan masa binaannya tersebut masih sebagai penjahat,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Selanjutnya ia menerangkan Pasal 7 ayat (2) UU Pilkada merupakan pembatasan hak asasi manusia yang sewenang-wenang dan tidak sesuai dengan prinsip pembatasan hak asasi tersebut di atas. Pertama, lanjutnya, tidak ada batasan tindak pidana yang dapat mencabut hak politik seseorang. Kedua, atas dasar tindak pidana yang ringan sekalipun seorang dapat dicabut hak politiknya seumur hidup. “Tentu pembatasan yang demikian tidak memiliki tujuan yang jelas dan pembatasannya sangat eksesif dan tidak proporsional,” jelasnya.
Adapun Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada menyebutkan:
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;
Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 71/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh Rusli Habibie yang merupakan Gubernur Gorontalo. Pemohon pada awal Agustus 2016 mendapat putusan kasasi dengan pidana satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun atas tuduhan melakukan penghinaan dan melanggar Pasal 317 ayat (1) KUHP. Pemohon menyoal Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang mengatur mengenai calon kepala daerah yang berstatus terpidana.
Dalam permohonannya Pemohon menilai bahwa ketentuan a quo telah melanggar hak konstitusional Pemohon karena dinilaimenghalangi Pemohon untuk maju kembali dalam pemilihan kepala daerah. Frasa ”….karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan penjara 5 (lima) tahun atau lebih” yang semula terdapat dalam Pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 2015 menjadi dihapus dan diganti dengan ketentuan baru sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016. Dengan demikian Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10 Tahun 2016 telah memperluas cakupan tindak pidana, yang semula dibatasi hanya terhadap perbuatan pidana yang diancam dengan penjara 5 (lima) tahun atau lebih, diubah menjadi seluruh tindak pidana, sekalipun ancaman penjaranya hanya percobaan.
Pemohon beralasan, pemberlakuan ketentuan yang berbeda dari pemilukada serentak 2015 ke Pemilukada Serentak Tahun 2017 ini selain bertentangan dengan prinsip negara hukum juga melanggar hak persamaan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. (Lulu Anjarsari/lul)