Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU Peradilan Anak) pada Rabu (2/11) di Ruang Sidang MK. Sidang kedua permohonan dengan Nomor 94/PUU-XIV/2016 tersebut beragendakan pemeriksaan perbaikan permohonan. Permohonan diajukan oleh Moch Dyono, seorang ayah dari anak yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pencurian sepeda motor.
Pemohon menjelaskan telah melakukan perbaikan permohonan sesuai dengan saran Majelis Hakim pada sidang sebelumnya. Dalam kedudukan hukum, permohonan tidak bisa langsung dilakukan oleh anak Pemohon, maka diwakili oleh orang tuanya. Kemudian terkait praperadilan, Muhammad Sholeh selaku kuasa hukum Pemohon menyebut ketentuan masa sidang dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP tidak bisa diperlakukan juga bagi sistem peradilan anak.
Pasal 82 ayat (1) KUHAP menyebutkan:
Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut:
...
d. dalam hal suatu perkara sudah mulai. diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;
Dalam kasus anak Pemohon, ketentuan yang digunakan adalah UU Sistem Peradilan Pidana Anak, yang berbeda dengan yang diatur dalam KUHAP. Dalam KUHAP, untuk sampai ke pengadilan ada durasi waktu 20 hari penyidikan penyidik, siperpanjang 40 hari oleh penuntut dan diperpanjang lagi oleh ketua pengadilan 30 hari. Sehingga ada durasi waktu 90 hari.
“Ketika ditotal, (untuk peradilan anak, red) hanya ada durasi waktu 25 hari. Sangat wajar pada saat Pemohon melakukan gugatan praperadilan, lebih dulu sidang pokok perkaranya yang disidangkan daripada praperadilanya, karena memang ketentuan yang sangat pendek ini. Tentu Pemohon sangat dirugikan karena hak untuk mempersoalkan penetapan tersangkanya, penangkapan, penahananya itu menjadi gugur karena pokok perkaranya sudah disidang lebih dulu,” terangnya.
Terkait diversi dalam norma Pasal 7 ayat (2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak, Pemohon menilai ketentuan tersebut melanggar hak konstitusional Pemohon. Pemohon menganggap seharusnya diversi dapat dilakukan tanpa memandang ancaman hukuman. Sebab, menurut Pemohon, anak korban sosial sehingga dia tidak bisa diperlakukan seperti orang dewasa. “Kecuali tindak pidana yang beruntun. Artinya, dilakukan oleh anak residivis yang sering berulang. Sudah keluar masih melakukan lagi, itu mungkin sebuah perkecualian,” imbuhnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon menyatakan hak konstitusionalnya dirugikan akibat berlakunya Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP dan Pasal 7 ayat (2) huruf a, Pasal 32 ayat (2) huruf b UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Anak Pemohon yang saat ini berusia 17 tahun 11 bulan ditahan oleh Polsek Gayungsari Surabaya pada 22 Juli 2016 lalu karena kasus curanmor. Saat ditanggap, Soleh mengatakan anak Pemohon dianiaya oleh massa dan pihak kepolisian sehingga harus dirawat di rumah sakit.
Awalnya, anak Pemohon dijerat Pasal 362 KUHP dalam surat penahanannya. Namun kemudian pasal yang digunakan untuk memenjarakan anak Pemohon berubah menjadi Pasal 363. Akhirnya, Pemohon mengajukan praperadilan terhadap penangkapan anak Pemohon. Namun, sebelum sidang praperadilan berjalan, tiba-tiba pokok perkaranya sudah berjalan di Pengadilan Negeri Surabaya.
Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP mengatur bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penuntutan. Sementara Pasal 32 ayat (2) huruf b mengatur bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.
Ketentuan-ketentuan tersebut menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa tiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. Selain itu, Pemohon juga menganggap ketentuan sistem peradilan anak dimaksud bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang memerintahkan tiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Terkait hal itu, Pemohon mempersoalkan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP yang dianggap sebagai penyebab gugurnya permohonan praperadilan Pemohon. Pasal ini merugikan anak Pemohon saat dijadwalkan sidang praperadilan yang seharusnya tanggal 15 Agustus, menjadi tanggal 11 Agustus. Oleh karena itu, Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, juga Pasal 7 ayat (2) huruf a, Pasal 32 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
(Lulu Anjarsari/lul)