Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pimpinan Djan Faridz melakukan perbaikan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Sidang kedua perkara yang teregistrasi dengan Nomor 93/PUU-XIV/2016 digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (1/11) di Ruang Sidang MK.
Diwakili Andi Riza Fardiansyah, Pemohon memperbaiki kedudukan hukum yang semula merupakan partai politik menjadi pemohon perseorangan. Selain itu, Pemohon juga memperbaiki kronologis kerugian konstitusional yang dialami pemohon. Pemohon pun memnambahkan tiga pasal dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik sebagai norma yang diujikan. “Sesuai dengan saran yang diberikan oleh Majelis Hakim untuk mengaitkan dengan UU Parpol, maka kami menambahkan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 33 UU Parpol untuk diuji,” ujar Andi di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Dalam sidang sebelumnya, Djan Faridz dan Dimyati Natakusumah selaku Ketua dan Sekretaris Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada. Pasal a quo menyatakan; “Jika masih terdapat perselisihan atas putusan Mahkamah Partai atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada Ayat (2), kepengurusan Partai Politik tingkat Pusat yang dapat mendaftarkan pasangan calon merupakan kepengurusan yang sudah memperoleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan didaftarkan serta ditetapkan dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia”.
Pemohon menjelaskan parpol pimpinannya adalah yang dinyatakan sah sebagai Pengurus DPP PPP berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No. 601 K/Pdt.Sus-Parpol/2015 yang telah berkekuatan hukum tetap. Karena itu, Pemohon berpendapat seharusnya Pemohon yang didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM sebagai pengurus DPP PPP. Akan tetapi, Pemohon tidak mendapatkan pengesahan dan atau Surat Keputusan dari Menteri Hukum dan HAM. Menteri Hukum dan HAM justru menerbitkan Surat Keputusan No.M.HH-006.AH.11.01 Tahun 2016 yang mengesahkan hasil Muktamar VIII PPP yang dilaksanakan pada tanggal 8 sampai 11 April 2016 yang bertentangan dengan putusan a quo.
Kemudian, adanya norma Pasal 40 Ayat (3), khususnya frasa “dan didaftarkan serta ditetapkan dengan keputusan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan HAM” potensial pasti menimbulkan kerugian hak konstitusional Pemohon yang seharusnya dilindungi negara, yaitu hak untuk memperoleh kepastian hukum yang adil menurut prinsip negara Indonesia yang menganut prinsip negara hukum.
Menurut Pemohon, frasa tersebut sesungguhnya memberikan pembenaran atas tindakan Kementerian Hukum dan HAM yang mengabaikan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dengan tidak mendaftarkan Pemohon sebagai pengurus DPP PPP yang sah. Untuk itulah, para Pemohon berharap agar Mahkamah menyatakan ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945. (Lulu Anjarsari/lul)