Ahmad Amin yang mengajukan uji materiil aturan mengenai tunjangan profesi bagi dosen dan guru dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) memperbaiki permohonannya. Sidang kedua perkara yang tersegistrasi dengan Nomor 91/PUU-XIV/2016 digelar Selasa (1/11) di Ruang Sidang MK.
Dalam perbaikan permohonannya, Amin mengurangi jumlah pasal yang diujikan menjadi empat pasal dari semula sepuluh pasal. Pasal-pasal tersebut, yakni Pasal 16 ayat (3), Pasal 53 ayat (3), Pasal 57 ayat (1) serta Pasal 91 ayat (1) UU Guru dan Dosen. Selain itu, Pemohon juga memperbaiki petitum permohonannya. Amin meminta Pasal 16 ayat (3) UU Guru dan Dosen inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk pendidikan termasuk anggaran pendidikan nasional”.
Amin merupakan seorang pegawai negeri sipil (PNS) atau aparatur sipil negara (ASN) Dinas Pendidikan Kabupaten Pati Jawa Tengah. Ia merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 16 ayat (3), Pasal 53 ayat (3), Pasal 57 ayat (1) dan Pasal 91 ayat (1) UU Guru dan Dosen. Menurut Amin, pasal-pasal tersebut terutama frasa “tunjangan profesi” telah menjadikan kedudukan profesi guru dan dosen lebih istimewa dibanding dengan ASN lainnya.
Frasa “tunjangan profesi” yang dijelaskan dalam penjelasan bahwa tunjangan profesi adalah tunjangan yang diberikan kepada guru yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas profesionalitasnya. Ia melanjutkan hal ini sangat bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yaitu pengelolaan APBN untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sudah selayaknya setiap pekerjaan dilakukan secara profesional sehingga dapat dipertanggungjawabkan proses dan hasil dari pekerjaan tersebut. Pemberian tunjangan profesi hanyalah upaya untuk mengelabui rakyat dan sekedar formalitas untuk membungkus kewajiban terlihat sebagai prestasi, sehingga jelas tampak bahwa tunjangan guru dan dosen hanya digunakan untuk “membagi-bagi anggaran pendidikan yang besar20% APBN dan 20% APBD”.
Ia berpendapat tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menjadikan profesi guru dan dosen istimewa. Guru dan dosen merupakan tenaga profesional, maka berdasar Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, pemberi kerja lah yang memiliki tanggung jawab untuk memenuhi dan menjamin kesejahteraan tenaga profesional yang mereka pekerjakan/ kontrak. Menaikkan besaran tunjangan profesi guru dan dosen dengan Gaji ASN adalah kebijakan yang tidak adil bagi ASN selain guru dan dosen. Guru dan dosen yang mendapatkan tunjangan profesi akan mendapatkan penghasilan lebih besar daripada ASN bukan guru dan dosen. Jika gaji pokok ASN naik 10%, secara otomatis guru dan dosen ASN mendapat kenaikan gaji 20%, yaitu 10% dari kenaikan gaji pokok ASN dan 10% tunjangan profesi. Hal tersebut, menurut Pemohon, menyebabkan Pemerintah akan berpikir ulang jika ingin menaikkan gaji pokok ASN, karena kebutuhan anggarannya selalu ganda.
Berdasarkan Putusan MK Nomor 24/PUU-V/2007 perihal Pengujian UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Khusus Pasal 49 ayat (1) dan UU Nomor 18/2006 Tentang APBN Tahun Anggaran 2007, menyatakan Pasal 49 Ayat (1) UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sepanjang mengenai frasa “gaji pendidik” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Keputusan MK tersebut secara jelas menyatakan “gaji pendidik” tidak boleh dimaknai dan diubah menjadi “penghasilan pendidik”. Menurut dalil Pemohon, tunjangan profesi guru dan dosen seharusnya menjadi tanggung jawab organisasi profesi yang bersangkutan, dengan melakukan subsidi silang dari anggota yang memiliki kontrak kerja dengan penghasilan lebih dengan anggota yang kontrak kerja dengan penghasilan kurang. Hal itu karena tunjangan profesi bersifat khusus bagi profesi tertentu saja. Jika tunjangan profesi dibebankan pada negara, maka negara bertindak diskriminasi dan melanggar konstitusi. (Lulu Anjarsari/lul)