Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kedua perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU Keistimewaan DIY) yang dimohonkan delapan orang warga Yogyakarta dengan beragam profesi, antara lain abdi dalem Keraton Ngayogyakarta dan perangkat desa, Selasa (25/10) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Iqbal Tawakal Pasaribu selaku kuasa hukum para Pemohon menyampaikan telah memperbaiki permohonan perkara No. 88/PUU-XIV/2016 sesuai saran Majelis Hakim pada sidang pendahuluan.
Iqbal menjelaskan jumlah Pemohon bertambah menjadi sebelas orang. Terdapat tiga orang Pemohon baru yang disertakan dalam perbaikan permohonan, yaitu Sunarsih, Bambang Prajitno, dan Wawan Hermawan.
Selain menguraikan penambahan jumlah Pemohon, Iqbal juga menjelaskan kedudukan hukum yang dipakai oleh Pemohon I sampai Pemohon V. Kelimanya sebagai pejuang diskriminasi terhadap perempuan merasa dirugikan oleh ketentuan yang hanya mencantumkan kata “istri” dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY.
Pasal tersebut mengatur bahwa calon gubernur DIY salah satunya harus memenuhi syarat dengan menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak. Kata “istri” dalam pasal tersebut menurut Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Sebabnya, kata “istri” dalam ketentuan tersebut seolah-olah menafsirkan hanya laki-laki sajalah yang berhak menjadi gubernur DIY.
“Sebagai pejuang diskriminasi terhadap perempuan, yaitu Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V. Di sini kami sampaikan bahwa Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III, Pemohon V, dan Pemohon V mengalami kerugian konstitusional dan memiliki kedudukan hukum selaku perorangan warga negara Indonesia yang dalam kesehariannya berjuang untuk kepentingan mendudukkan dan menjaga agar lembaga negara, baik itu kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif atau lembaga negara lainnya yang tetap dalam rel konstitusi, yaitu tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan dalam hal pengisian jabatan. Pemohon dalam hal ini merupakan aktivis perempuan yang selama ini dikenal memiliki kepedulian mengenai urusan perempuan dalam politik,” jelas Iqbal.
Sementara Pemohon VI sampai Pemohon IX, seperti yang dipaparkan Iqbal, memiliki potensi kerugian hak konstitusional sebagai masyarakat atau pelaku usaha bila terjadi kekosongan jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY. Pemohon khawatir, ketentuan ang mengatur daftar riwayat hidup yang memuat kata “istri” dan “anak” hingga saudara kandung dapat melampaui takdir. Sebab, anak dan istri merupakan kehendak Tuhan.
“Suatu saat seorang sultan bertahta bisa saja telah dewasa, minimal berumur 30 tahun, memiliki pendidikan dan pekerjaan, namun tidak memiliki istri, bahkan tidak mungkin memiliki istri karena yang bersangkutan adalah perempuan. Kondisi ini berpotensi dengan rasio yang wajar dapat dipastikan terjadi sultan bertahta adalah perempuan negara melalui DPRD mendapat ruang hukum untuk tidak menetapkan yang bersangkutan menjadi gubernur. Hal ini bisa bersifat permanen atau tidak dapat ditentukan waktunya sampai kapan karena negara tidak mungkin memiliki mekanisme memaksa sultan bertahta menikah,” urai Iqbal sembari mengatakan keadaan semacam itu dapat menimbulkan kekosongan jabatan gubernur DIY.
Oleh karena itu, sama seperti yang disampaikan pada sidang pendahuluan, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 terhadap kalimat yang memuat antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. (Yusti Nurul Agustin/lul)