Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar uji materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak). Sidang Perkara Nomor 57, 58, 59, 63/PUU-XIV/2016 digelar Senin (31/10) dengan agenda mendengarkan keterangan empat ahli Pemerintah.
Pakar Ekonomi sekaligus mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri mengatakan target penerimaan pajak harus dinaikkan agar target belanjanya bisa dilakukan. Jika tidak, maka akan terjadi economic slowdown yang menyebabkan potensi penerimaan negara juga mengalami penurunan. “Karena itu, jika terjadi potensi defisit anggarannya melampaui 3%, maka ada potensi bahwa pemerintah melanggar Undang-Undang Keuangan Negara Tahun 2003. Untuk itu yang harus diakukan adalah tax amnesty,” ujar Chatib.
Lebih lanjut, Chatib menjelaskan program tax amnesty memiliki manfaat dan risiko tersendiri. “Manfaatnya adalah bagian dari perluasan basis pajak karena yang paling penting dari pajak adalah data, Yang Mulia. Kemudian yang paling penting dari program tax amnesty ini adalah deklarasi yang membuat tax base kita itu menjadi semakin besar,” urainya kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Risikonya, imbuh Chatib, adalah apabila terlalu banyak dana yang masuk, nilai rupiahnya akan menjadi terlalu kuat. Apabila nilai rupiah terlalu kuat, eskpor akan mengalami penurunan dan impornya akan naik.
“Kemudian, tax amnesty ini dilakukan di dalam periode yang sangat singkat. Sosialisasinya perlu dilakukan segera, periode waktunya bagaimana? Kemudian juga penambahan surat utang jika program tax amnesty ini gagal. Itu adalah risikonya,” tegas Chatib.
Hadir pula dalam persidangan Guru Besar Ilmu Administrasi Pajak Universitas Indonesia Gunadi selaku Ahli Pemerintah. Ia memaparkan selain uang tebusan, target pengampunan pajak di Indonesia termasuk repatriasi harta agar selain percepatan pertumbuhan ekonomi, juga dapat dimanfaatkan untuk restrukturisasi ekonomi, sehingga struktur ekonomi makin maju.
“Teori The level of Tax Determinants dari Musgrave menyatakan bahwa perbaikan struktur ekonomi dapat meningkatkan struktur pajak dan penerimaannya, serta tax ratio. Kemajuan struktur ekonomi mampu mentransformasi sektor informal dan underground economy ke sektor formal serta meningkatkan pendapatan domestik bruto dan penghasilan per kapita, sehingga memudahkan pemungutan pajak,” papar Gunadi.
Penjelasan Pasal 23 UUD 1945 menyebutkan, “Penetapan belanja merupakan hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri.” Dengan demikian, kata Gunadi, setiap tindakan penempatan beban kepadanya harus ditetapkan dengan undang-undang. Secara hukum, pengampunan pajak menghapus kewajiban pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai terutang sampai dengan 2015 diganti dengan uang tebusan pengampunan pajak atas harta netto yang dimiliki sejak awal 1995 sampai dengan akhir 2015 tetapi belum dilapor dalam SPT PPh 2015.
“Uang tebusan dalam pengampunan pajak adalah beban rakyat. Maka sesuai dengan Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, program pengampunan pajak harus ditetapkan dengan undang-undang dan dibentuklah Undang-Undang Pengampuan Pajak,” ungkap Gunadi.
Dijelaskan Gunadi, sesuai Pasal 23A UUD 1945, uang tebusan juga harus ditetapkan dengan undang-undang karena merupakan pajak penghasilan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Substansi uang tebusan pengampunan adalah pengganti PPh (Pajak Penghasilan) dan PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Di Amerika Serikat, tiap pungutan pengganti pajak diatur dalam internal revenue code.
Ahli Pemerintah lainnya, Darussalam, menyampaikan potensi pajak Indonesia yang baru tergali adalah sebesar 47%. Hal tersebut berdasar penelitian pada 2013 oleh Ricardo Venecieto dan Pesino. Penerimaan perpajakan Indonesia yang menjadi andalan, menurutnya, hanya terkait pajak penghasilan di badan usaha dan pajak pertambahan nilai. Sedangkan sektor pajak penghasilan untuk orang pribadi, khususnya orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha, masih kecil. Angka dari tahun 2012 sampai 2014, orang pribadi hanya menyumbang sebesar 0,4% sampai 0,5% dari total penerimaan pajak.
“Bandingkan denagn PPh badan dan PPN yang angkanya kalau digabung itu mencapai 90%. Ini juga menjadi perhatian kenapa pilihan Undang-Undang Pengampunan Pajak itu nanti sangat rasionalitas untuk menyasar para orang pribadi yang menjalankan kegiatan usaha ini? Karena kalau kita bandingkan dengan banyak negara justru orang pribadi inilah penerimaan pajaknya yang paling besar. Jadi kondisinya kita terbalik dengan negara-negara maju,” tandas pengamat perpajakan tersebut.
Terakhir, Yustinus Prastowo yang juga merupakan pengamat perpajakan menyampaikan potret buram perpajakan Indonesia. Dikatakan Yustinus, perbandingan penerimaan pajak Indonesia dengan negara lain terutama negara sebaya menunjukkan Indonesia termasuk yang paling rendah.
“Ini artinya kapasitas kita memungut pajak juga tidak mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Kalau kita lihat, bahkan dibentang selama 40 tahun, tidak ada kenaikan yang signifikan. Jadi, saya sepakat bahwa gejala stagnasi itu adalah gejala jangka panjang dan semakin mendesak ketika berbagai sumber potensi pajak tradisional seperti komoditas mengalami penurunan di tahun-tahun terakhir ini,” ujarnya.
Selain itu, kata Yustinus, pertumbuhan penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi juga semakin menurun. Artinya, kapasitas pemerintah memungut pajak dibandingkan dengan pertambahan potensi pajak juga semakin rendah. Hal tersebut menunjukkan adanya problem dalam kapasitas baik regulasi, administrasi, kelembagaan maupun kepatuhan. “Juga dari segi kepatuhan pajak terlihat belum ada kesadaran yang cukup tinggi dari masyarakat wajib pajak, baik untuk mendaftarkan diri ataupun menyampaikan SPT. Terlihat dalam tiga tahun terakhir setidaknya rasio penyampaian SPT termasuk rendah karena tidak pernah melebihi 60%,” jelasnya.
Para pemohon yang mengajukan permohonan terkait uji materiil UU Pengampunan Pajak di antaranya Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (Perkara 57/PUU-XIV/2016), Yayasan Satu Keadilan (perkara Nomor 58/PUU-XIV/2016), Leni Indrawati dkk (Perkara nomor 59/PUU-XIV/2016) serta Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) (Perkara Nomor 63/PUU-XIV/2016).
Para pemohon menilai ketentuan dalam UU Pengampunan Pajak telah melukai rasa keadilan dalam masyarakat karena bersifat diskriminatif dengan membedakan kedudukan warga negara sebagai warga negara pembayar pajak dan warga negara tidak membayar pajak. Selain itu ketentuan tersebut juga dinilai memberikan hak khusus secara eksklusif kepada pihak yang tidak taat pajak, berupa pembebasan sanksi administrasi, proses pemeriksaan, dan sanksi pidana. Tak hanya itu, Pemohon juga menilai pengampunan untuk konteks perpajakan tidak sejalan dengan ketentuan konstitusi di mana lembaga pajak seharusnya bersifat memaksa. Dengan adanya ketentuan a quo, sifat lembaga pajak berubah menjadi lentur bahkan menjadi negotiable.
Hal tersebut dinilai Pemohon juga sebagai ketidakadilan dan perlakuan diskriminatif yang nyata terhadap “para pengemplang pajak” dari kewajibannya membayar pajak. Alih-alih diberi sanksi justru “para pengemplang pajak” tersebut diampuni dan hanya membayar denda yang jumlahnya sama dengan warga lain. (Nano Tresna Arfana/lul)