Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menjadi narasumber dalam Wawasan Kebangsaan X yang bertajuk “Semangat Sumpah Pemuda dalam Menjaga Konstitusi dan Penegakan Hukum“ yang di gelar di Gedung Srijaya, Surabaya, Jumat (28/10). Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, Arief menuturkan wawasan kebangsaan dilatarbelakangi reformasi kerinduan masyarakat tentang ideologi yang kurang diajarkan di bangku sekolah.
“Maka pada hari ini, bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, kita gelar Wawasan Kebangsaan yang ke X. Sudah kewajiban putra-putri bangsa untuk menjaga keutuhan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara, berbeda suku, agama, Ras dan golongan bersatu dalam kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tegasnya.
Arief menuturkan Indonesia didirikan dengan semangat teologi yang mengilhami praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Para negarawan yang mendirikan negara dan bangsa Indonesia, jelasnya, meletakkan nilai-nilai luhur Pancasila yang dijiwai sinar ketuhanan sehingga menjadi dasar fundamental dalam kehidupan bangsa.
“Negarawan terdahulu kita berpegang teguh pada aturan Tuhan. Kalimat ‘Atas Berkat Rahmat Tuhan yang Maha Kuasa’ yang termuat dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-3, merupakan penanda kepasrahan total para pendiri bangsa setelah sebelumnya berjibaku mengeluarkan segenap usaha dan potensinya, demi terbentuknya hukum dasar, yakni UUD 1945,” papar Arief.
Terkait dengan penegakan hukum dan konstitusi, Arief memandangnya dengan 3 komponen sistem hukum yang meliputi struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Tiga komponen yang digagas L.M. Friedman tersebut dinilai Arief masih relevan untuk dijadikan rujukan dalam melihat solusi penegakan hukum dan konstitusi di negara Indonesia.
Pertama, struktur hukum yang meliputi lembaga, pranata dan aparatur negara. Melalui perspektif tersebut, penegak hukum dan konstitusi mesti menjadi tanggung jawab bersama seluruh komponen cabang kekuasaan negara, seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Kedua, substansi hukum meliputi peraturan norma-norma dan pola perilaku masyarakat dalam suatu sistem. Substansi hukum, jelas Arief, tidak hanya meliputi peraturan yang tertulis, tetapi juga peraturan yang tidak tertulis dan putusan pengadilan. “Substansi hukum tidak dapat dipisahkan dari kekuatan politik karena memiliki 3 pandangan untuk menggambarkan relasi hukum dan politik yakni hukum determinan atas politik (das sollen), politik determinan atas hukum (das sein), dan konsep das sollen dan dan sein yang mengkontruksikan antara hukum dan politik tidak ada yang lebih dominan karena kedua nya secara simetris-sinergis saling memengaruhi,” jelas Arief.
Ketiga, budaya hukum, yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. “Budaya hukum ini juga dimaknai sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan,” jelas Arief menguti[ L. M. Friedman.
Dalam acara wawasan kebangsaan tersebut, hadir pula sebagai pembicara yaitu Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Jimly Asshiddiqie, Pangdam V Brawijaya Mayjen TNI I Made Sukadana, serta putra Bung Tomo, Bambang Sulistomo.
Keberagaman adalah Berkah
Keesokan harinya (29/10), Arif juga memberikan ceramah nasional di Universitas Malang yang bertemakan “Merajut Kembali Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Bingkai Bhineka Tunggal Ika”. Pada kesempatan tersebut, Arief hidayat menjelaskan persoalan sosial terbesar yang sedang dialami bangsa adalah kohesi sosial yang menjadi pengikat bangsa Indonesia semakin melemah. Hal tersebut, menurut Arief, salah satunya diakibatkan oleh ikatan-ikatan promordialisme yang meningkat dan diperparah dengan adanya kesenjangan sosial-ekonomi dan diskriminasi yang memicu terjadinya konflik sektorial maupun konflik horizontal.
“Keberagaman yang selama ini dibanggakan sebagai berkah bagi bangsa, kini dipahami sebaliknya, menjadi ancaman bangsa. Yang terjadi adalah surplus kebebasan, namun defisit tanggungjawab dan keadilan,” papar Arief.
Oleh karena itu, Arief menegaskan perlunya peneguhan kembali bahwa bangsa Indonesia lahir dan dikonstruksi atas perbedaan yang berhasil rekat atas dasar kesamaan visi dan tujuan. “Itu sebabnya, sejarah bangsa ini, dan juga sejarah kelahiran Pancasila, adalah sejarah pluralisme Indonesia itu sendiri. Di sini pula pentingnya kita melihat Pancasila mampu merekatkan kebhinnekaan Indonesia menjadi kekuatan bangsa,” tegasnya.
Arif juga mengimbau kepada peserta seminar untuk terlebih dahulu memahami Pancasila dan UUD 1945 yang memosisikan perbedaan sebagai fitrah. “Kita ini hidup bernegara dalam kebhinekaan namun dalam kesatuan. Penghormatan terhadap keberagaman menjadi prasyarat menciptakan hidup yang nyaman berdampingan dalam suasana perbedaan. Hal ini dapat terwujud ketika hak asasi setiap warga negara dipenuhi dan terbebas dari diskriminasi dan tindakan intoleran,” tegasnya.
Pilkada Serentak
Pada hari yang sama, Arief juga mengisi kuliah umum di Universitas Wisnuwardhana Malang. Adapun tema yang diangkat, yakni “Pemilihan Kepala Daerah Serentak: Problematik dan Tantangan dalam Perspektif Hukum”. Dalam kesempatan tersebut, Arief menegaskan peran masing-masing lembaga negara terkait pilkada agar pilkada serentak tahap kedua pada 2017 mendatang berjalan lancar, aman, jujur, dan adil.
Mencermati putusan MK dalam perkara perselisihan pilkada serentak tahun 2015, Arief menyebut MK telah memberikan gambaran mengenai satu persoalan yang penting. Persoalan tersebut menyangkut concern pembentuk undang-undang melalui UU Pilkada untuk melakukan fungsi hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat menuju keadaan yang diinginkan.
Melalui UU Pilkada pula, pembentuk undang-undang berupaya membangun budaya hukum dan politik masyarakat menuju tingkatan makin dewasa, lebih taat asas, taat hukum, dan lebih tertib dalam hal terjadi sengketa atau perselisihan dalam pilkada. “Pembentuk undang-undang telah mendesain sedemikian rupa pranata penyelesaian sengketa atau perselisihan yang terjadi di luar perselisihan penetapan perolehan suara hasil penghitungan suara,” ujarnya.
UU Pilkada, lanjut Arief, telah menggariskan lembaga yang menyelesaikan persoalan atau pelanggaran dalam pemilu. Pelanggaran administratif diselesaikan oleh Komisi Pemilihan Umum pada tingkatan masing-masing. Sengketa antar peserta pemilihan diselesaikan melalui panitia pengawas pemilihan di setiap tingkatan. Sengketa penetapan calon pasangan melalui peradilan tata usaha negara (PTUN). Tindak pidana dalam pemilihan diselesaikan oleh lembaga penegak hukum melalui sentra Gakkumdu, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Untuk perselisihan penetapan perolehan suara hasil penghitungan suara diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi.
“Dengan demikian, pembentuk undang-undang membangun budaya hukum dan politik agar sengketa atau perselisihan di luar perselisihan penetapan perolehan suara hasil penghitungan suara diselesaikan terlebih dahulu oleh lembaga yang berwenang pada masing-masing tingkatan melalui pranata yang disediakan. Artinya, perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi untuk diperiksa dan diadili betul-betul merupakan perselisihan yang menyangkut penetapan hasil penghitungan perolehan suara, bukan sengketa atau perselisihan lain yang telah ditentukan menjadi kewenangan lembaga lain,” tandasnya. (hendy/lul)