Pemerintah menilai permohonan yang diajukan oleh Ira Hartini Natapradja Hamel yang merupakan ibu dari Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) 2016 Gloria Natapradja harus dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK. Hal tersebut disampaikan Direktur Litigasi Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM Yunan Hilmy dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan). Sidang ketiga uji aturan terkait kewajiban mendaftarkan diri bagi anak hasil perkawinan campuran digelar Rabu (26/10) di Ruang Sidang MK.
Dalam keterangannya, Hilmy menjelaskan Pasal 41 UU Kewarganegaraan sudah tidak berlaku. Pasal tersebut menyatakan “Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan”.
“Berdasar alasan di atas, pemerintah berpendapat Pemohon telah kehilangan objek dan adalah tepat jika Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Hilmy yang mewakili Pemerintah tersebut.
Selain itu, Pemerintah menilai MK tidak berwenang mengadili permohonan tersebut. Sebab, dalam permohonannya, Pemohon meminta untuk mengubah, mengganti, atau memaknai frasa “memperoleh kewarganegaraan Repubik Indonesia berdasarkan undang-undang ini dengan mendaftarkan diri kepada menteri melalui pejabat atau wakil republik … perwakilan Repubik Indonesia paling lambat 4 tahun setelah undang-undang ini diundangkan” dalam undang-undang a quo menjadi frasa “adalah warga negara Indonesia”. Hal tersebut, lanjut Hilmy, merupakan permohonan pembentukan norma baru.
“Apabila permohonan Pemohon dikabulkan, akan menghilangkan makna ketentuan peralihan dan melahirkan ketidakpastian hukum. Berdasarkan alasan di atas, pemerintah berpendapat permohonan para Pemohon adalah permohonan norma baru, oleh karenanya melampaui kewenangan Mahkamah Konstitusi. Dan adalah tepat jika Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” tukasnya.
Tidak Terdaftar
Terkait status kewarganegaraan anak Pemohon, yakni Gloria Natapradja Hamel, Pemerintah menilai anak Pemohon tetap berkewarganegaraan Perancis sesuai ketentuan pasal a quo. Menurut Hilmy, Gloria tidak pernah didaftarkan oleh orang tua atau walinya, untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Pasal 41 UU Kewarganegaraan. “Maka Gloria Natapradja Hamel adalah warga negara asing (WNA Perancis),” tandasnya.
Dalam permohonannya, pemohon mendalilkan telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 41 UU Kewarganegaraan. Pemohon menilai anak Pemohon yang merupakan hasil perkawinan campuran mendapat diskriminasi akibat berlakunya ketentuan tersebut. Gloria—anak pemohon—yang baru berusia 16 tahun belum memenuhi syarat administrasi untuk dapat memilih kewarganegaraan antara warga negara Indonesia, mengikuti kewarganegaran ibu kandungnya, atau sebagai warga negara Perancis, mengikuti kewarganegaraan ayah kandungnya.
Menurut Pemohon, Pasal 41 UU Kewarganegaraan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan (4) UUD 1945 karena kewajiban untuk mendaftarkan diri bagi anak yang belum berusia 18 tahun hasil perkawinan campuran, yang ditakdirkan lahir dan besar di Indonesia, dibebankan kepada keluarga Pemohon yang harus secara aktif mendaftarkan ke Pejabat yang berwenang. Padahal, bunyi Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 justru melimpahkan kewajiban dalam penyelengaraan hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil bagi setiap orang, termasuk hak atas status kewarganegaraan yang disebut dalam Pasal 28D ayat (4) UUD 1945 kepada negara. Pasal 41 UU Kewarganegaraan, menurut Pemohon, menimbulkan kerumitan administrasi pada Pemohon yang bertentangan dengan ketentuan konstitusional yang seharusnya negara menunaikan kewajiban untuk memberi kemudahan kepada setiap orang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945. (Lulu Anjarsari/lul)