Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kedua perkara Pengujian UU No.9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), Senin (17/10) di Ruang Sidang Pleno MK. Nico Indra Sakti selaku Pemohon perkara No. 81/PUU-XIV/2016 tersebut menyampaikan pokok perbaikan dalam permohonannya.
Tanpa didampingi kuasa hukum, Nico menyampaikan pokok-pokok perbaikan dalam permohonannya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul. Nico mengatakan telah melakukan perbaikan sesuai saran Majelis Hakim pada sidang pendahuluan yang digelar 3 Oktober 2016 lalu.
“Sebagaimana saran-saran yang telah disampaikan oleh Ketua Majelis dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia, seluruhnya telah kami lakukan perbaikan. Pemohon telah meringkas dan menyempurnakan sistematika agar tidak terjadi pengulangan atas hal yang sama,” ujar Nico.
Selain itu, Pemohon juga menambahkan argumentasi terkait adanya ambiguitas Pasal 2 huruf e Undang-Undang PTUN dengan menyertakan bukti perbandingan makna. Dengan argumen dan bukti baru, Pemohon yakin telah terjadi ketidaksamaan di hadapan hukum dan pemerintahan atau pelanggaran asas equal before the law oleh PTUN yang membedakan kedudukan hukum dan pemerintahan antara pejabat tata usaha negara pada organ eksekutif dan pada organ yudikatif. Pemohon menyerahkan 38 bukti tertulis sebagai penguat argumentasinya.
“Karena kita anggap pemeriksaan dalam perkara ini selesai, lebih dahulu akan kita sahkan dulu bukti dari Pemohon ini adalah P-1 sampai dengan P-38,” tegas Manahan kemudian mengatakan akan membawa hasil sidang ke Rapat Permusyawaratan Hakim.
Sengketa Tanah
Sebelumnya, Pemohon pada pokoknya menggugat ketentuan dalam Pasal 2 huruf e UU PTUN. Ketentuan tersebut menyatakan yang tidak termasuk pengertian Keputusan Tata Usaha Negara dalam UU PTUN yaitu Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam permohonannya, Pemohon menjelaskan bahwa Pejabat Peradilan Umum mengesampingkan pemberlakuan pasal a quo dalam kasus sengketa tanah. Akibatnya, Pemohon dan keluarganya tidak dapat menguasai tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Gunawarman No 41, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Putusan tersebut dikeluarkan oleh PN Jakarta Selatan dengan No. 155/Pdt/G/1992/PN.Jak.Sel terhitung sejak tanggal 15 November 1995.
Setelah itu, masih dalam permohonannya, Pemohon mengaku dirugikan dengan adanya tiga keputusan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Ketua PN Jakarta Selatan terkait sengketa tanah milik Pemohon. Keputusan-keputusan tersebut, yaitu keputusan terhadap permohonan rehabiltasi hak atas pelaksanaan eksekusi tingkat pertama, Keputusan Penolakan pelaksanaan eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan keputusan penolakan permohonan pelaksanaan rehabilitasi hak Orang Tua Pemohon dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Terbitnya tiga keputusan dimaksud menurut Nico, seperti yang ia sampaikan dalam persidangan, diakibatkan oknum ketua PN Jaksel salah mengartikan frasa “atas dasar” dalam Pasal 2 huruf e UU PTUN.
Oleh karena itu, dalam petitum permohonannya, Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 2 huruf e UU PTUN konstitusional bersyarat dengan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sejauh frasa “atas dasar” sepanjang dimaknai sesuai dengan hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(Yusti Nurul Agustin/lul)