Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohon uji materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Rabu (19/10). Sidang perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 tersebut digelar ruang sidang MK.
Kuasa Hukum pemohon M Ainul Syamsu memaparkan poin-poin perbaikannya, antara lain terkait legal standing berkaitan dengan kerugian hak konstitusional. Kemudian, masih terkait legal standing, Pemohon pun mengurai kembali penjelasan tentang Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang ada dalam permohonan. “Bahwa badan hukum publik maupun privat dapat bertindak sebagai Pemohon yang menganggap hak konstitusional dirugikan,” jelasnya.
Selanjutnya, imbuhnya, pokok permohonan juga mendapat perbaikan. Pemohon lebih menekankan inkonsistensi norma antara Pasal 22 dengan Pasal 1 angka 8, berkaitan dengan frasa pihak lain. Kemudian permohonan yang banyak berisi penjelasan kasus konkret sudah diubah menjadi lebih mengurai dan menegaskan kaidah norma yang dipersoalkan.
Terakhir, Pemohon memperkuat dalil-dalil permohonannya berkaitan dengan frasa penyelidikan. Pemohon meminta MK menafsirkan dan menegaskan kembali maksud dari frasa penyelidikan dalam Pasal 36 huruf c, d, h, i dan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2). “Apakah itu penyelidikan pidana ataukah pemeriksaan administratif,” jelasnya.
Pemohon adalah PT. Bandung Raya Indah Lestari. Mereka merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan ketentuan Pasal 22, 23, 24, Pasal 26 huruf c, d, h, i, Pasal 41 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 44 ayat (4), ayat (5). Ketentuan tersebut terkait dengan keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Nomor 12/KPPU-L/2015 yang membatalkan proses pelelangan badan usaha. Menurut Pemohon, pelelangan tersebut telah telah dimenangkannya secara jujur, fair, dan terbuka.
Dalam dalil permohonannya, Pemohon menyatakan pasal-pasal yang diujikan tersebut tidak mengatur secara jelas dan tegas kedudukan KPPU. “Apakah (KPPU, red) sebagai lembaga administratif yang diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan secara administatif atau sebagai penegak hukum pidana yang berwenang melakukan penyelidikan,” jelas kuasa Pemohon Muhammad Ainul Syamsu dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo, Kamis (6/10)
Lebih lanjut, menurut Pemohon, frasa “pihak lain” dalam Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 UU 5/1999 tidak memberikan kepastian hukum. Sebab, Pemohon menilai frasa tersebut bersifat multitafsir dan tidak jelas sehingga membuka ruang bagi lembaga tertentu untuk bertindak sewenang-wenang. Menurut Pemohon, frasa “pihak lain” seharusnya dimaknai sebagai frasa “pelaku usaha lain”.
Selain itu, Pemohon menganggap frasa “penyelidikan dan/atau pemeriksaan” dalam Pasal 36 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i dan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU 5/1999 tidak memberikan kepastian hukum karena seolah-olah KPPU atau unit kerja di dalamnya mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan. Ketidakjelasan tersebut dinilai dapat memberikan celah hukum karena KPPU dapat menjadikan hasil pemeriksaan administratif sebagai hasil penyelidikan.
“Ketidakjelasan tersebut juga berpotensi untuk memberikan ruang kepada KPPU untuk memberikan makna secara luas untuk menjalankan fungsi penyelidikan, fungsi penuntutan dan fungsi ajudikasi secara sekaligus,” katanya.
Padahal, Pemohon berpendapat KPPU tidak mempunyai wewenang berdasarkan undang-undang untuk menjalankan ketiga fungsi tersebut, kecuali melakukan pemeriksaan administratif terhadap pelaku usaha.
(ars/lul