Sowanwitno Lumadjeng dan T. Yosef Subagio selaku Pengurus DPP Asosiasi Karoseri Indonesia (Askarindo) mengugat ketentuan yang mengakibatkan pemberlakuan tiga undang-undang terhadap jenis usaha karoseri dalam UU Penerimaan Negara Bukan Pajak (UU PNBP). Usai diberi kesempatan untuk memperbaiki permohonan, Pemohon lewat kuasa hukumnya menyampaikan pokok perbaikan permohonan dalam perkara No. 79/PUU-XIV/2016 pada Senin (17/10) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Habel Rumbiak selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Pada pokoknya, Pemohon sudah memasukkan saran yang disampaikan Majelis Hakim pada sidang pendahuluan.
Salah satu perbaikan yang disampaikan Pemohon, yaitu penjelasan mengenai kerugian materiil akibat berlakunya Pasal 2 ayat (2), ayat (3), dan Pasal 3 ayat (2) UU PNBP. “Secara lengkap ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2), ayat (3), dan Pasal 3 ayat (2) kami sebutkan di sana, berkenaan dengan peraturan tentang pengenaan penerimaan negara bukan pajak yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah,” ujar Habel Rumbiak.
Selain itu, Pemohon juga menambahkan batu uji yang digunakan dalam UUD 1945. Pemohon menggunakan Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagai batu uji.
Selain itu, Pemohon juga memperbaiki sistematika penulisan permohonan yang pada sidang pendahuluan sempat dikoreksi oleh Majelis Hakim. Pada pokok permoihonan, Habel menjelaskan tidak ada perubahan substansial. Pemohon hanya menambahkan beberapa arugumentasi untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya.
Dalam persidangan, Patrialis juga mengesahkan 13 bukti yang diajukan Pemohon. “Oke, jadi sidang pendahuluanya sudah cukup, ya. Bukti yang disampaikan P-1 sampai dengan P-13, ya, Pak Habel? Kita sahkan dulu. Baik tinggal menunggu informasi selanjutnya dari Mahkamah. Kami laporkan dulu nasibnya perkara ini nanti,” terang Patrialis.
Sebelumnya, Pemohon menggugat Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 3 ayat (2) UU PNBP. Pasal-pasal tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa penerimaan negara bukan pajak ditetapkan dengan undang-undang dan peraturan pemerintah. Lebih detil, pasal-pasal tersebut berbunyi sebagai berikut.
Pasal 2
(2) Kecuali jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditetapkan dengan Undang-Undang, jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang tercakup dalam kelompok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
(3) Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum tercakup dalam kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 3
(2) Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang menetapkan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan
Ketentuan tersebut menurut paparan Rumbiak menyebabkan banyaknya pungutan yang harus dibayar para pengusaha karoseri. Pungutan tersebut diatur dalam UU PNBP, UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, hingga UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
“Para pengusaha Karoseri ini mengalami permasalahan di bidang pungutan-pungutan yang bukan pajak karena kepada mereka diperlakukan tiga undang-undang sekaligus, Undang-Undang Lalu Lintas, kemudian Undang-Undang Pemerntahan Daerah, yang mereka tempuh pula dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan kemudian juga mereka terkena juga dengan aturan dalam Pasal 2 ayat (2) yang dimohonkan pengujian materiil kali ini berkenaan dengan penerimaan negara bukan pajak khususnya di lingkungan Departemen Perhubungan,” jelas Rumbiak.
Selain itu, Rumbiak menambahkan, ketentuan yang digugat Pemohon ikonstitusional. Sebab, Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 3 ayat (2) UU PNBP mengamanatkan adanya pungutan lain yang bersifat memaksa diatur lewat peraturan pemerintah. Padahal, Pasal 23A UUD 1945 menyatakan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara harus diatur lewat UU.
Untuk memperkuat argumentasi permohonan Pemohon, Rumbiak mengungkapkan bahwa UU Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Pemda dapat memungut pajak dan retribusi asalkan ditetapkan dengan undang-undang. Namun, Rumbiak menegaskan, UU PNBP tidak mengamanatkan hal yang sama.
“Ini tidak konstitusional dan bertentangan dengan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) bahwa ketentuan yang banyak tersebut tidak memberikan kepastian hukum dan juga tidak memberikan perlindungan kepada Para Pemohon. Oleh karena itu, mohon kepada Majelis Hakim Yang Mulia, untuk dalam petitum mengabulkan permohonan kami. Menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar,” pinta Rumbiak pada sidang pendahuluan yang digelar 3 Oktober 2016 lalu. (Yusti Nurul Agustin/lul)