Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan perkara uji materiil terhadap ketentuan syarat pencalonan kepala daerah dalam Undang-Undang Pilkada yang dimohonkan Gubernur Gorontalo Rusli Habibie, Kamis (13/10) di Ruang Sidang Pleno MK. Pemerintah dan DPR menyampaikan tanggapannya terhadap perkara No. 71/PUU-XIV/2016 tersebut.
Di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat, Agung Widyantoro dari Komisi II DPR RI menyampaikan dalam negara demokrasi, hak memilih dan dipilih sebagai pelaksanaan demokrasi harus dibatasi oleh hukum. Konsep negara yang demikian diyakini DPR dapat mencegah kekuasaan yang absolut demi pengakuan dan perlindungan hak asasi.
“Dalam negara hukum, segala sesuatu harus dilakukan menurut hukum. Everything must be done according to the law. Negara hukum menentukan bahwa Pemerintah harus tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada Pemerintah,” jelas Agung.
Sementara, demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang telah diakui dan dipraktikkan sejak lama. Berdasarkan hal itu, lanjut Agung, maka pembentuk undang-undang telah berulang kali membentuk undang-undang yang mengatur mengenai pilkada secara langsung.
Terkait dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada telah merugikan hak konstitusionalnya, Agung menjelaskan persyaratan tidak diperbolehkannya terpidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah merupakan norma umum yang masih diberlakukan untuk jabatan publik. Syarat dimaksud, menurut DPR, bertujuan untuk dapat menjaring pemimpin atau pemangku jabatan publik yang baik, memiliki integritas, kapabilitas moral yang memadai, mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, benar-benar bersih, jujur, dan berwibawa dengan standar persyaratan yang objektif.
Selain itu, Agung mengatakan pasal yang digugat Pemohon merupakan legal policy yang menjadi kewenangan DPR bersama-sama dengan Presiden. Dengan kewenangannya, DPR dan Presiden menentukan syarat-syarat tertentu, termasuk syarat yang terkait dengan standar moral tertentu sesuai dengan kebutuhan yang menjadi tuntutan untuk menduduki jabatan publik tersebut.
“Selain itu, prinsip-prinsip aturan yang dibuat dalam pasal a quo, semata-mata adalah dalam rangka untuk menciptakan suatu tata kehidupan yang lebih baik, guna menjadi keberlanjutan pemerintahan dan kemajuan di segala aspek kehidupan dalam upaya mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” tegas Agung sembari meminta Mahkamah menolak seluruh permohonan Pemohon.
Tidak Miliki Kedudukan Hukum
Sementara itu Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Widodo Sigit Pudjianto mewakili Pemerintah menyatakan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Sebabnya, pemerintah daerah provinsi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintah pusat dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan misalnya, sangat ditentukan oleh kekompakan, keterpaduan, dan satu bahasa di antara ketiganya dalam melaksanakan semua kebijakan pemerintah yang tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Saat diangkat, kepala daerah juga mengucapkan janji untuk memenuhi kewajibannya sebagai kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan.
Bila dikaitkan dengan hakikat pengujian undang-undang di MK, Pemerintah yakin bahwa upaya yang dilakukan Pemohon dengan menggugat ketentuan a quo bukan sebagai bentuk menjalankan undang-undang. Menurut Widodo, seharusnya yang berhak mengajukan gugatan pengujian undang-undang adalah rakyat sebagai bentuk pengawasan terhadap pemerintah dan DPR.
“Perangkat pemerintah seharusnya memperlihatkan kepatuhan atau ketaatan terhadap semua peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dengan cara melaksanakan dengan selurus-lurusnya. Bahwa sesuai Pasal 67 undang-undang a quo, kewajiban kepala daerah meliputi menaati seluruh ketentuan peratuan perundang-undangan,” tegas Widodo sembari menyatakan Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum.
(Yusti Nurul Agustin/lul)