Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA). Sidang keempat perkara yang diajukan oleh Abda Khair Mufti dkk (Nomor perkara 56/PUU-XIV/2016) dan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (Nomor perkara 66/PUU-XIV/2016) digelar Selasa (18/10) di Ruang Sidang MK.
Mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan yang dihadirkan sebagai ahli menjelaskan mengenai kewenangan MA dalam menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Ia menjelaskan ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tidak mengurangi hak konstitusional Pemohon. Menurutnya, apabila Pemohon menemukan suatu peraturan daerah, peraturan gubernur, peraturan bupati, atau peraturan walikota bertentangan dengan undang-undang yang merugikan kepentingan Pemohon, Pemohon tetap dapat menggunakan hak untuk mengajukan kepada Mahkamah Agung agar melakukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan tersebut.
“Terhadap penetapan yang berwenang yang membatalkan atau tidak membatalkan peraturan daerah, atau peraturan gubernur, atau peraturan bupati, atau peraturan walikota yang ternyata merugikan kepentingan Pemohon, Pemohon dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan tata usaha negara. Pemohon dapat juga mengajukan gugatan perdata atas dasar onrechtmatige daad (perbuatan melawan hukum, red) atau onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan melawan hukum oleh penguasa, red) kalau ternyata peraturan daerah, peraturan gubernur, peraturan bupati, peraturan walikota menimbulkan kerugian kepentingan Para Pemohon,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Selain itu, Bagir mengungkapkan persoalan hukum yang diatur dalam pasal-pasal yang diajukan Pemohon terkait dengan persoalan hukum administrasi. Sementara, lanjutnya, persoalan hukum yang diatur UU MA ada dalam lingkup persoalan yudisial. Hal tersebut, menurutnya, dapat menyebabkan permohonan pemohon dinyatakan tidak dapat diterima.
“Jadi, dua hal yang berbeda. Barangkali, selain karena dapat dipertalikan, Pemohon ingin manfaatkan ungkapan, Sekali mendayung dua-tiga pulau dilampaui. Tetapi saya perlu mengingatkan ada asas beracara di pengadilan. Pemohon tidak dibenarkan merangkai-rangkai perkara atau persoalan hukum yang berbeda menjadi satu perkara. Dalam praktik peradilan yang saya ketahui, permohonan atau gugatan mencoba merangkai-rangkai persoalan hukum yang berbeda-beda dalam satu perkara dapat dijadikan alasan untuk menyatakan perkara itu tidak dapat diterima,” tegasnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mengujikan beberapa norma, yaitu Pasal 245 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 251 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 267 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 268 ayat (1), Pasal 269 ayat (1), Pasal 270 ayat (1), Pasal 271 ayat (1), Pasal 324 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 325 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda serta Pasal 31 ayat (2) UU MA.
Permohonan tersebut didasarkan pada tindakan Pemerintah, melalui Kementerian Dalam Negeri, yang membatalkan ribuan peraturan daerah (perda) provinsi atau kabupaten/kota yang diatur dalam Pasal 251 UU Pemda. Pemohon merasa hal tersebut berdampak luas bagi jalannya roda pemerintahan di daerah. Pemohon juga menilai, ketentuan dalam UU Pemda telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena mengakibatkan polemik dan problematika secara akademik dan praktis dalam hal pengawasan dan pengujian norma perda. Seharusnya, konsep pengawasan pemerintah pusat hanya sebatas preview terhadap rancangan perda (ranperda) sebelum diundangkan, bukan membatalkan perda yang sudah disahkan Pemerintahan Daerah (Kepala Daerah dan DPRD). Pemerintah Pusat hanya mengevaluasi dan sinkronisasi terhadap peraturan yang lebih tinggi.
Sementara, Pemohon Nomor 56/PUU-XIV/2016 menilai dalam UU Pemda hanya diakui penyelenggara pemerintahan daerah pada tingkat provinsi atau kabupaten/kota, sebagai satu-satunya subyek hukum yang dapat mengajukan keberatan terhadap keputusan pembatalan perda kabupaten/kota oleh gubernur atau menteri, atau perda provinsi oleh menteri. Perda merupakan pengaturan yang bersifat umum, yang tidak termasuk dalam pengertian keputusan tata usaha negara. Sehingga, menurut Pemohon, keputusan pembatalan perda sebagaimana dimaksud UU Pemda, merupakan hierarki peraturan perundang-undangan yang ditegaskan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Urutan Perundang-Undangan.
Menurut para Pemohon, ketentuan dalam Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Gubernur atau Menteri dapat: 5. mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota, atau Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Gubernur yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan ke Mahkamah Agung paling lama 14 hari setelah ditetapkan”. (Lulu Anjarsari/lul)