Ira Hartini Natapradja Hamel yang merupakan ibu dari anggota pasukan pengibar bendera pusaka (Paskibraka) 2016 Gloria Natapradja memperbaiki uji materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan). Sidang perbaikan permohonan uji aturan kewajiban mendaftarkan diri bagi anak hasil perkawinan campuran digelar pada Senin (17/10) di Ruang Sidang MK.
Diwakili Fahmi Bachmid selaku kuasa hukum, pemohon mendalilkan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan saran Majelis Hakim pada sidang sebelumnya. Pemohon memperbaiki argumentasi permohonannya. Menurut Pemohon, seharusnya anak yang terlahir dari perkawinan campuran yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin yang lahir sebelum Undang-Undang Kewarganegaraan tidak perlu dibatasi pendaftarannyakarena status kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sudah diatur Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Kewarganegaraan yang menyatakan:
”Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.”
“Maka, keharusan untuk mendaftarkan (kewarganegaraan anak, red) paling lambat 4 tahun setelah berlakunya Undang-Undang Kewarganegaraan a quo menimbulkan ketidakpastian hukum,” ujar Bachmid di hadapan majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 41 UU Kewarganegaraan. Pasal tersebut menyatakan “Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan”.
Pemohon menilai anak Pemohon yang merupakan hasil perkawinan campuran mendapat diskriminasi akibat berlakunya ketentuan tersebut. Gloria —anak pemohon— yang baru berusia 16 tahun belum memenuhi usia 18 tahun secara administrasi untuk dapat memilih kewarganegaraan antara Warga Negara Indonesia mengikuti kewarganegaran Pemohon selaku ibu kandungnya atau memilih sebagai Warga Negara Perancis mengikuti kewarganegaraan ayah kandungnya, seperti yang berlaku untuk anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang lahir setelah UU Kewarganegaraan.
Menurut Pemohon, Pasal 41 UU Kewarganegaraan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945. Sebab, kewajiban untuk mendaftarkan diri bagi anak yang belum berusia 18 tahun hasil perkawinan campuran yang lahir dan besar di Indonesia pada kenyataanya dibebankan kepada keluarga Pemohon. Padahal, lanjut Bachmid, dari bunyi Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 justru melimpahkan kewajiban dalam penyelengaraan hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil bagi setiap orang, termasuk hak atas status kewarganegaraan yang disebut dalam Pasal 28D ayat (4) UUD 1945 kepada negara. Pasal 41 UU Kewarganegaraan menimbulkan kerumitan administrasi pada Pemohon yang bertentangan dengan ketentuan konstitusional yang seharusnya negara menunaikan kewajiban untuk memberi kemudahan kepada setiap orang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945.
(Lulu Anjarsari/lul)