Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan perkara Pengujian Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada), Kamis (13/10). Dalam amar putusan perkara No. 135/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan Perhimpunan Jiwa Sehat, dkk, Mahkamah menyatakan mengabulkan sebagian permohonan para Pemohon. Dengan adanya putusan a quo, penderita gangguan jiwa dapat memperoleh hak memilih, sepanjang tidak mengidap gangguan jiwa permanen.
“Mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan amar putusan didampingi hakim konstitusi lainnya.
Ketentuan Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada yang menyatakan syarat untuk terdaftar sebagai pemilih dalam pilkada yaitu tidak terganggu jiwa atau ingatannya. Ketentuan tersebut dianggap Perhimpunan Jiwa Sehat, Perludem, Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA PENCA), dkk telah menghilangkan hak konstitusional para penderita gangguan jiwa.
Selain itu, Pemohon menilai ketentuan tersebut telah menghilangkan hak seorang warga negara untuk dapat berpartisipasi dalam pemilihan calon kepala daerah. Ketentuan a quo pun dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses pelaksanaan pemilihan kepala daerah, khususnya pada tahapan pemutakhiran dan pendaftaran pemilih. Padahal para Pemohon berkeyakinan gangguan psikososial atau disabilitas gangguan mental bukan jenis penyakit yang muncul terus menerus dan setiap saat.
Pemilih dan Hak Pilih
Dalam putusannya, Mahkamah memandang terdapat kaitan yang sangat erat antara pendaftaran sebagai calon pemilih dengan hak pilih itu sendiri. Namun, Mahkamah memandang bahwa pendaftaran calon pemilih dan hak pilih adalah dua hal yang secara prinsip berbeda.
Menurut Mahkamah, hak pilih adalah hak warga negara untuk mengikuti pemilu sebagai pemilih. Adapun pendaftaran pemilih, menurut Mahkamah, adalah sebuah upaya/kegiatan administratif yang dilakukan untuk memperoleh data mengenai jumlah warga negara yang memiliki hak pilih.
“Pendaftaran pemilih merupakan sebuah upaya administratif untuk memastikan bahwa warga negara yang memiliki hak pilih telah dapat mempergunakan haknya pada saat pemilihan umum nanti,” ujar Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul membacakan petikan pertimbangan hukum Mahkamah.
Mahkamah pun berpendapat andai pemilih tidak memenuhi syarat terdaftar sebagai pemilih, yang bersangkutan masih dapat menggunakan hak pilihnya dalam pemilu dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) sebagaimana diatur Pasal 57 ayat (2) UU 8/2015. Menurut penalaran Mahkamah, ketentuan Pasal 57 tersebut dapat ditafsirkan bahwa para calon pemilih yang tidak memenuhi syarat ayat (3), baik karena alasan sedang terganggu jiwa/ingatannya maupun karena sedang dicabut hak pilihnya, tetap dapat mengikuti pemilu. Namun, tentu saja harus memenuhi syarat sedang tidak terganggu jiwa/ingatannya ataupun sedang tidak dicabut hak pilihnya.
Karakteristik Berbeda
Terkait dengan pokok permohonan Pemohon, Mahkamah berpendapat bahwa gangguan jiwa dan gangguan ingatan adalah dua hal yang memiliki karakteristik berbeda. Keduanya memang saling beririsan namun tidak selalu dapat dipersamakan begitu saja. Dengan mempertimbangkan berbagai pendapat ahli, Mahkamah menyatakan bahwa gangguan ingatan (memori) adalah masalah yang ditimbulkan oleh kemunduran atau penurunan kualitas fisik otak sebagai wahana penyimpan dan pemroses memori. Sedangkan gangguan jiwa tidak selalu disebabkan oleh masalah penurunan kualitas fisik manusia belaka. Masing-masing jenis gangguan, baik gangguan jiwa maupun gangguan ingatan, memiliki turunan yang beragam.
Dengan demikian, frasa “gangguan jiwa/ingatan” dalam Pasal 57 ayat (3) UU Pilkada menurut Mahkamah harus ditegaskan bukan dalam konteks menyamakan antara gangguan jiwa dengan gangguan ingatan. Melainkan, frasa tersebut harus ditegaskan dalam pengelompokan dua kategori yaitu gangguan jiwa dan gangguan ingatan sebagai satu himpunan yang dikecualikan dari warga negara yang berhak untuk didaftar dalam daftar pemilih.
Dari hasil mendengarkan keterangan ahli maupun saksi dalam persidangan, Mahkamah menemukan fakta bahwa terdapat penderita yang mengalami pemulihan kondisi kejiwaan atau ingatan nyaris mencapai 100 persen atau setidaknya mengalami pemulihan yang memampukan penderitanya untuk beraktivitas kembali secara normal. Meski begitu, Mahkamah juga melihat ada beberapa penderita yang tidak mengalami pemulihan kondisi jiwa dan/atau ingatan, bahkan sekadar dalam batas minimal untuk dapat beraktivitas secara psikis.
Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan meskipun hak para Pemohon untuk mengikuti pemungutan suara dalam rangka pemilihan umum tetap terjamin, namun Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada tetap menimbulkan tafsir yang dapat menghilangkan hak para Pemohon untuk didaftar dalam daftar pemilih.
Mahkamah berpendapat Pasal 57 ayat (3) huruf a UU 8/2015 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa “terganggu jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai “mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum”. “Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” jelas Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
(Yusti Nurul Agustin/lul)