Permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang diajukan Bupati Kutai Barat dinyatakan menyatakan tidak dapat dierima oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Demikian putusan Nomor 87/PUU-XIII/2015 dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat, Kamis (13/10) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Arief didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Mahkamah menilai tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas pada norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. Pemohon menilai adanya pertentangan aturan mengenai pengelolaan ketenagalistrikan dalam UU Pemda dengan UU Ketenagalistrikan.
Menurut Mahkamah, lanjut Palguna, ketenagalistrikan adalah tergolong ke dalam Urusan Pemerintahan Pilihan yang oleh undang-undang a quo diberi pengertian sebagai Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah. “Daerah yang dimaksud di sini dapat berarti daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota,” ucap Palguna.
Palguna melanjutkan, dilihat dari perspektif penyelenggaraan pemerintahan, menempatkan ketenagalistrikan sebagai sub-urusan pemerintahan pusat dan pemerintahan provinsi merupakan keputusan atas prinsip akuntabilitas, efisiensi, eksternalitas, dan kepentingan strategis nasional tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Namun, saat diberlakukannya UU Pemda, berlaku pula UU Ketenagalistrikan yang mengatur secara berbeda terhadap kewenangan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Jika ketentuan Pasal 407 UU Pemda dihubungkan dengan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka ketentuan dalam Pasal 407 UU Pemda berlaku pula terhadap Pasal 5 UU Ketenagalistrikan, sepanjang menyangkut kewenangan yang langsung berkaitan dengan daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota sehingga harus mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya dengan UU Pemda.
Ketentuan Pasal 407 UU Pemda tersebut juga berlaku terhadap seluruh peraturan perundang-undang di bawah Undang-Undang. Hal tersebut sejalan dengan asas hukum lex posteriore derogat legi priori (peraturan yang lahir belakangan diutamakan/ mengalahkan peraturan sederajat yang terdahulu) dan asas hukum lex superiore derogat legi inferiori (peraturan yang lebih tinggi diutamakan/ mengalahkan peraturan yang lebih rendah).
“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas pada norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian para Pemohon,” tandas Palguna.
Kedudukan Hukum
Palguna pun menjelaskan kedudukan pemohon yang tidak memenuhi persyaratan. Menurut Palguna, dalam konteks permohonan a quo, pihak yang secara aktual maupun potensial dapat menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan adalah Pemerintahan Daerah Kabupaten Kutai Barat, dalam hal ini Bupati Kutai Barat bersama-sama dengan DPRD Kabupaten Kutai Barat.
Namun, terang Palguna, berdasarkan uraian para Pemohon dalam permohonannya, ternyata Pemohon I (Bupati Kutai Barat) maupun Pemohon II (Jackson John Tawi, Ketua DPRD Kabupaten Kutai Barat) bertindak sendiri-sendiri. Bahkan, khusus untuk Pemohon II, meskipun menerangkan dirinya sebagai Ketua DPRD Kabupaten Kutai Barat, yang bersangkutan menyatakan dirinya bertindak untuk dan atas nama pribadi.
“Mahkamah berpendapat bahwa permohonan a quo bukanlah diajukan oleh Pemerintahan Daerah Kabupaten Kutai Barat melainkan oleh Bupati Kutai Barat secara tersendiri dan oleh Jackson John Tawi secara pribadi, sehingga para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo,” terang Palguna.
Bupati Kutai Barat Ismail Thomas, Ketua DPRD Kutai Barat, FX. Yapan, dan Ketua Presidium Dewan Adat Kabupaten Kutai Barat Yustinus Dullah merupakan para pemohon yang mengajukan uji materiil Lampiran CC angka 5 pada Sub Urusan Ketenagalistrikan UU Pemda.Dalam permohonannya, pemohon menyatakan Kabupaten Kutai Barat mengalami masalah ketenagalistrikan, yaitu pemadaman listrik, tidak stabilnya listrik, sulitnya mendapat sambungan listrik dan mahalnya biaya penyambungan listrik. Bahkan, hingga kini di Kabupaten Kutai Barat hanya 30% masyarakat yang mendapat pelayanan listrik.
Hal tersebut, menurut Pemohon, akibat kurangnya pasokan listrik di Kabupaten Kutai Barat. Terhadap permasalahan tersebut, Pemerintah Kabupaten Kutai Barat bermaksud membangun pembangkit tenaga listrik dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada. Namun, terkendala dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam Lampiran CC angka 5, Sub Urusan Ketenagalistrikan dari UU Pemda, yang hanya mengatur kewenangan ‘pemerintah pusat’ dan ‘pemerintah daerah provinsi’ dalam masalah ketenagalistrikan. Padahal menurut Pemohon, Pasal 5 ayat (3) UU Ketenagalistrikan memberikan kewenangan kepada kabupaten/kota untuk mengatur mengenai ketenagalistrikan. (Lulu Anjarsari/lul)