Mahkamah Konstitusi (MK) memutus tidak dapat menerima permohonan uji materiil Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Kamis (13/10). Menurut Mahkamah, Pemohon perkara teregistrasi Nomor 62/PUU-XIV/2016 tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing.
“Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Ketua MK Arief Hidayat di Ruang Sidang Pleno MK didamping hakim konstitusi lainnya.
Membacakan putusan, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menyebut Pemohon sama sekali tidak menerangkan hak konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya norma pasal tersebut. “Pemohon sebatas menilai telah terjadi pelanggaran terhadap hak konstitusionalnya akibat dari penafsiran yang keliru. Ini serta merta berdampak sistemik pada kemerdekaan pers dan sistem demokrasi di Indonesia,” jelasnya.
Selain itu, kata Maria, Pemohon hanya menerangkan kedudukan hukumnya secara sumir dengan menyebut memiliki syarat yang cukup sesuai UU Penyiaran untuk dapat mengikuti dan dipilih sebagai anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) karena Pemohon telah memperoleh rekomendasi dari masyarakat sebagai syarat utama untuk mengikuti proses seleksi anggota KPI Pusat Periode 2016-2019.
Perkara tersebut diajukan oleh lima Pemohon. Mereka semua yakni Alem Febri Sonni (Pemohon I) , Fajar Arifianto Isnugroho (Pemohon II), Achmad Zamzami (Pemohon III), Arie Andyka, (Pemohon IV) serta Majelis Sinergi Kalam (MASIKA) Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah Sulawesi Selatan diwakili oleh Muh. Ashry Sallatu, (Pemohon V). Kelimanya merasa dirugikan dengan ketentuan pemilihan anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam undang-undang a quo.
Pemohon menyinggung keberadaan panitia seleksi (pansel) dalam pemilihan anggota KPI di DPR. Menurut Pemohon, seleksi anggota KPI dengan pansel di DPR tak diatur dalam Pasal 10 ayat (2) maupun Pasal 61 ayat (2) UU Penyiaran.
Akibatnya, Pemohon selaku calon anggota KPI 2016-2019 gugur di tangan pansel. Sebab, pansel menetapkan aturan tambahan mengenai usia minimum dan maksimum calon anggota KPI. Aturan tambahan itu membuat dirinya tak dapat ikut dalam proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR.
Lebih lanjut, menurut Pemohon, Pemerintah pun turut serta dalam kesalahan penafsiran tersebut. Pemohon menyebut tidak benar jika Pemerintah sejak awal terlibat seleksi calon anggota KPI periode kelima. Sebab merujuk ketentuan Pasal 61 ayat (2) UU 32/2002 menyatakan Pemerintah hanya terlibat pada pembentukan KPI periode pertama. (ars/lul)