Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU KDIY), Selasa (11/10). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 88/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh delapan orang warga Yogyakarta dengan beragam profesi, antara lain abdi dalem Keraton Ngayogyakarta dan perangkat desa.
Pada sidang yang dipimpin langsung oleh Ketua MK Arief Hidayat, Andi Irmanputra Sidin selaku kuasa hukum menyampaikan pokok permohonan Pemohon. Dalam keterangannya, Irman mengatakan Pemohon merasa dirugikan oleh berlakunya Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY. Pasal tersebut mengatur bahwa calon gubernur DIY salah satunya harus memenuhi syarat dengan menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.
Kata “istri” dalam pasal tersebut menurut Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Sebabnya, kata “istri” dalam ketentuan tersebut seolah-olah menafsirkan hanya laki-laki sajalah yang berhak menjadi gubernur DIY.
“Kata istri inilah yang kemudian kami anggap memiliki persoalan konstitusional yang merugikan hak konstitusional kami selaku Pemohon karena kami menganggap bahwa kata istri ini seolah-olah bahwa calon gubernur dan wakil gubernur DIY itu harus berjenis kelamin laki-laki, di situ karena bahasanya adalah tidak mungkin perempuan. Kalau dia perempuan calon gubernurnya, dia memiliki istri karena kita ketahui bahwa hak untuk membentuk keluarga dalam konstitusi itu tidak mengenal pernikahan sejenis, Yang Mulia,” jelas Irman sembari mengatakan pasal tersebut mengandung kekuranglengkapan hukum.
Ketentuan dimaksud juga dianggap menimbulkan diskriminasi terhadap wanita. Padahal, UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women) juncto Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan telah melarang perlakuan diskriminatif kepada wanita.
Sebagian Pemohon, yaitu Raden Mas Adwin Suryo Satrianto selaku abdi dalem Keraton Ngayogyakarta dan Suprianto selaku paring dalem merasa memiliki kewajiban untuk mengawal kehormatan keluruhan martabat keistimewaan Yogyakarta. Dengan hadirnya pasal tersebut, Pemohon merasa negara mencampuri urusan internal Keraton Yogyakarta.
Padahal, Pemohon yakin bahwa secara konstitusional seluruh rakyat Indonesia sudah sepakat dan memberikan jaminan kepastian hukum mengenai sifat keistimewaan Keraton Yogyakarta lewat Pasal 18B ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itu, Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY mengenai kata “istri” bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai istri atau suami.
Saran Hakim
Usai mendengarkan penjelasan Pemohon, Majelis Hakim menyatakan permohonan Pemohon hanya memerlukan beberapa perbaikan, antara lain Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menyatakan Pemohon salah mencantumkan poin kewenangan MK.
“Pada kewenangan Mahkamah, Anda mengucapkan bahwa selanjutnya Pasal 254C ayat (1) Perubahan Keempat UndangUndang Dasar Tahun 1945, mestinya perubahan keempatnya tidak usah dimasukkan. Kita mengatakan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 saja,” ujar Maria yang juga meminta Pemohon untuk meringkas poin legal standing bila memiliki substansi yang sama.
Sementara Wakil Ketua MK Anwar Usman meminta Pemohon untuk memperdalam argumentasi. Bila diperlukan, Pemohon diminta untuk mencantumkan aturan di internal Keraton Yogyakarta terkait persoalan syarat gubernur.
Sedangkan Arief Hidayat menyarankan Pemohon untuk meminta menghapuskan syarat yang dicantumkan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY sekaligus demi menghindari intervensi. “Ataukah lebih baik supaya Mahkamah juga tidak dianggap intervensi, persyaratan m ini sebetulnya tidak diperlukan? Karena pengisian jabatannya yang lain, mulai dari Presiden kan tidak diperlukan pada persyaratan ini? Sehingga permohonan Saudara adalah permintaan untuk menghapuskan persyaratan huruf m. Itu lebih netral karena Saudara mengatakan kalau undang-undang ini mencantumkan istri, seolah-olah ada intervensi terhadap pemerintah pusat, terhadap keistimewaan Yogya yang berkaitan bahwa yang bisa menjadi gubernur dan wakil gubernur itu hanya laki-laki,” saran Arief.
Meski demikian, Arief menyerahan sepenuhnya kepada Pemohon apakah mau memasukkan saran hakim pada perbaikan permohonan atau sebaliknya. Pemohon diberi waktu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonan. (Yusti Nurul Agustin/lul)