Mahkamah Agung (MA) menyatakan keberadaan hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sama seperti hakim ad hoc lainnya, yaitu bersifat khusus dan sementara. Hal itu disampaikan Darmoko Yuti Witanto yang mewakili MA sebagai Pihak Terkait dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), Senin (10/10) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat, Darmoko menukil Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 sebagai dasar definisi hakim ad hoc. Pasal tersebut menyatakan bahwa masa tugas hakim ad hoc untuk jangka waktu lima tahun dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.
Selain itu, Darmoko mengutip kamus hukum karangan Rocky Marbun yang menyatakan ad hoc adalah sesuatu yang diciptakan atau seseorang yang ditujukan untuk tujuan dan jangka waktu tertentu, bersifat khusus dan sementara. Masih menukil definisi lainnya, Darmoko mengatakan dalam kamus populer internasional karangan Budiono, ad hoc diartikan sebagai khusus. Oleh karena itu, Darmoko kemudian mengatakan bahwa ad hoc mengandung pengertian sifat sementara dan/atau khusus yang tidak permanen.
Dengan definisi tersebut, MA lewat pernyataan Darmoko mengkhawatirkan perubahan definisi bila Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon. Nantinya, hakim ad hoc tidak akan berbeda dengan hakim lainnya. “Dan itu akan tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mengenai maksud diangkatnya hakim ad hoc PHI,” tegas Darmoko.
Lebih lanjut, Darmoko menjelaskan Pasal 70 UU PPHI menjelaskan bahwa pengangkatan hakim ad hoc PHI dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia. Artinya, pengangkatan hakim ad hoc benar-benar hanya didasarkan pada kebutuhan dan ketersediaan sumber daya yang diperlukan oleh badan peradilan. Bila kebutuhan tersebut sudah terpenuhi, maka keberadaan hakim ad hoc dapat saja tidak diperlukan lagi.
Usai menukil dasar hukum dimaksud, Darmoko menyatakan sikap MA yang menolak adanya pencabutan atau pernyataan tidak berlaku terhadap Pasal 67 ayat (2) UU PPHI. Sebab, hal itu dinilai akan menimbulkan efek panjang terkait keberadaan hakim ad hoc di bidang lainnya, beban anggaran negara, dan profesionalisme hakim.
“Dalam praktiknya, ada hambatan yang disebabkan oleh lamanya proses seleksi ulang bagi hakim ad hoc PHI. Sehingga, perlu ada penyederhanaan dengan memberikan prioritas dalam proses seleksi periode berikutnya bagi hakim ad hoc PHI yang memiliki rekam jejak yang baik untuk menduduki kembali jabatannya,” tutup Darmoko mengakhiri pernyataan MA terhadap perkara yang dimohonkan Hakim PHI Mustofa.
Sidang tersebut merupakan sidang terakhir untuk perkara No. 49/PUU-XIV/2016. Oleh karena itu, Arief meminta para pihak yang berperkara untuk menyerahkan kesimpulan ke Kepaniteraan MK. “Kalau begitu, rangkaian persidangan dalam Perkara 49 telah selesai dan Para Pihak bisa menyerahkan kesimpulan untuk diserahkan langsung ke Kepaniteraan tanpa melalui sidang. Penyerahan kesimpulan paling akhir, Selasa 18 Oktober 2016, pada pukul 10.00 WIB,” jelas Arief sembari menutup sidang.
Sebelumnya, Pemohon merasa ketentuan Pasal 67 ayat (2) UU PPHI menimbulkan ketidakpastian hukum. Pemohon menilai pasal a quo telah mendiskriminasi para hakim ad hoc pada PHI. Seperti diketahui, pasal a quo menyatakan masa tugas hakim ad hoc untuk jangka waktu lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.
Menurut Pemohon, periodisasi semacam itu tidak diatur bagi hakim di lingkungan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung (MA) sehingga menimbulkan diskriminasi bagi Pemohon. Periodisasi hakim ad hoc juga dianggap Pemohon menimbulkan masalah yang berkaitan dengan keberlanjutan penyelesaian, pemeriksaan, dan pemutusan perkara perselisihan hubungan industrial. Dengan periodisasi tersebut, Pemohon khawatir tidak dapat menuntaskan perkara perselisihan hubungan industrial yang seharusnya memberikan perlindungan yang adil bagi pekerja dan pemerintah.
(Yusti Nurul Agustin/lul)